Bolehkah Menikahi Perempuan yang Ditinggal Suaminya Pergi Tanpa Kabar?

Bolehkah Menikahi Perempuan yang Ditinggal Suaminya Pergi Tanpa Kabar?

Hanif Hawari - detikHikmah
Rabu, 15 Nov 2023 20:45 WIB
Husband and wife hands on wedding, holding flowers.
Ilustrasi menikah (Foto: Getty Images/Csondy)
Jakarta -

Dalam hidup berumah tangga, suami dituntut untuk mencari nafkah. Tak sedikit di antara suami pergi merantau untuk bekerja, bahkan sampai ke luar negeri.

Dengan berat hati, sang suami terpaksa harus meninggalkan keluarganya. Istri pun harus ikhlas menerima hal tersebut demi kehidupan yang lebih baik.

Ketika suami pergi, ada beberapa istri yang kehilangan kontak dengannya selama bertahun-tahun. Sang suami tak ada kabar sehingga menimbulkan pertanyaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam situasi tersebut, bolehkah menikahi perempuan yang ditinggal oleh suaminya? Bagaimana hukumnya menurut Islam?

Mengutip laman Kemenag, seorang suami yang pergi dan keberadaannya tidak diketahui dalam waktu yang cukup lama dalam fikih disebut mafqud. Kehilangan kabar itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti pergi tanpa kabar, menjadi korban bencana yang jasadnya tidak ditemukan, hingga sebab-sebab lainnya.

ADVERTISEMENT

Dalam situasi seperti itu, terdapat dua pandangan dari kalangan ulama. Pendapat pertama menyatakan bahwa si perempuan harus menunggu hingga yakin bahwa ikatan pernikahannya dengan si suami telah terputus, baik karena kematian suaminya, talak dari suaminya, atau sebab lainnya. Setelah itu, ia harus menjalani masa iddah.

Hal ini mempertimbangkan bahwa hukum asal dalam kasus tersebut adalah sang suami masih hidup dan status pernikahannya masih berlaku secara meyakinkan, sehingga tidak dapat dianggap batal kecuali dengan keyakinan yang meyakinkan juga. Menukil kitab Tuhfatul Muhtâj pada Hawâsyais Syarwani wal 'Abbâdi karya Ibnu Hajar Al-Haitami, berikut pandangan dari Imam As-Syafi'i dalam qaul jadid.

"(Jika suami menghilang) karena pergi atau alasan lain (dan berita tentangnya terputus, maka istri tidak boleh menikah lagi sampai diyakini) yaitu dugaan yang kuat berdasarkan bukti, seperti berita yang luas atau penentuan kematian atau talak (atau sejenisnya), contohnya seperti murtadnya sebelum atau setelah persetubuhan dengan syarat tertentu. Setelah itu, istri harus menjalani masa iddah. Hal ini karena asas hukumnya adalah suami masih hidup dan pernikahan tetap sah dengan keyakinan, sehingga status ini tidak dapat berubah kecuali dengan berita yang meyakinkan atau setara dengannya".

Pendapat kedua menyatakan bahwa perempuan harus menunggu sampai lewat masa empat tahun qamariyyah dan setelah itu menjalani masa iddah selama 4 bulan 10 hari. Penggunaan masa empat tahun ini digunakan karena merupakan batas maksimal usia kehamilan. Perhitungannya dimulai sejak keberadaan suami tidak diketahui atau sejak keputusan hukum hakim mengenai kematian suami.

"(Menurut qaul qadim, ia harus menunggu selama empat tahun), menurut satu versi: empat tahun tersebut dihitung sejak hilangnya suami. Sementara menurut versi al-ashhah, dihitung sejak ada keputusan dari hakim, sehingga waktu sebelumnya tidak dihitung. (Setelah itu, ia harus menjalani masa 'iddah sebagai wanita yang ditinggal mati suaminya, lalu diperbolehkan menikah) setelah melewati masa tersebut. Hal ini mengacu pada putusan hukum Umar RA dalam konteks ini. Penggunaan periode empat tahun dipilih karena masa tersebut merupakan batas maksimal kehamilan." (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj, cetakan pertama, Jilid X, halaman 457).

Pandangan qaul qadim dari Imam As-Syafi'i rahimahullah ini sejalan dengan riwayat pendapat ulama lainnya. Dari kalangan sahabat seperti 'Umar bin Al-Khattab, Ibnu 'Abbas, Ibnu 'Umar, 'Utsman bin 'Affan, dan Ibnu Mas'ud radhiyallâhu 'anhum. Sementara dari kalangan tabi'in terdapat An-Nakhai', Atha', Az-Zuhri, Makhul, dan As-Sya'bi.

"Sa'id ibnul Musayyab meriwayatkan bahwa Umar dan Utsman pernah menetapkan hukum tersebut dengan sanad shahih. Sa'id bin Manshur menceritakan dari Ibn Umar RA dan Ibnu Abbas RA, keduanya menyatakan, 'Istri yang mafqud harus menunggu selama empat tahun.' Riwayat ini juga disampaikan oleh Utsman dan Ibnu Masud, serta oleh sejumlah tabi'in seperti An-Nakha'i, Atha', Az-Zuhri, Mahkul, dan As-Sya'bi." (Ibnu Hajar Al-'Asqalâni, Fathul Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri, [Beirut, Dârul Kutub Al-'Ilmiyyah, tanpa tahun], jilid IX, halaman 538).

Dengan demikian, izin menikahi perempuan yang ditinggalkan suaminya dapat diterapkan dengan mengacu pada dua pendapat. Pertama, perempuan harus yakin bahwa hubungannya dengan suaminya telah terputus, baik karena berita kematian, talak, atau sebab-sebab lainnya, kemudian menjalani masa iddah. Kedua, perempuan diharuskan menunggu selama 4 tahun sejak hilangnya keberadaan suami, yang kemudian diikuti dengan masa iddah selama 4 bulan 10 hari.

Wallahu a'lam.




(hnh/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads