Pemikiran Ibnu Khaldun Mengenai Ashabiyah

Pemikiran Ibnu Khaldun Mengenai Ashabiyah

Hanif Hawari - detikHikmah
Selasa, 24 Okt 2023 15:30 WIB
Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun (Foto: Wikipedia Commons/Ilustrasi: Mindra Purnomo)
Jakarta -

Ibnu Khaldun barangkali merupakan salah satu intelektual yang memberikan kontribusi baru pada perkembangan keilmuan pada masa itu. Karenanya, tidak salah apabila banyak kalangan intelektual maupun akademis menempatkannya sebagai ilmuan modern.

Teori ashabiyah adalah salah satu contoh kejelian dan kecerdasan Ibnu Khaldun dalam menganalisis masalah politik dan negara. Di mana ashabiyah menjadi kunci lahir dan terbentuknya sebuah negara.

Sebaliknya, jika unsur ashabiyah dalam sebuah negara melemah maka negara itu berada dalam ancaman keruntuhan. Alhasil, hingga sekarang teori ashabiyah ini menjadi inspirasi pergerakan politik kontemporer.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Riwayat Singkat Ibnu Khaldun

Mengutip buku Seratus Muslim Terkemuka oleh Jamil Ahmad, Ibnu Khaldun lahir dengan nama lengkap Abdurrahman Abu Zaid yang kemudian mendapat gelar Waliyyuddin. Ia lahir di Tunisia pada awal bulan Ramadhan 732 dan meninggal di Kairo, Mesir pada 25 Ramadhan 808 H.

Ibnu Khaldun merupakan tokoh muslim yang terkemuka, bahkan dizamannya ia dikenal sebagai ilmuan pioner yang memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta memberikan alasan-alasan untuk mendukung fakta-fakta yang terjadi. Ibnu Khaldun juga terkenal sebagai ilmuan sosiologi, ekonomi, politik dan pernah terjun dalam kancah dunia politik praktis.

ADVERTISEMENT

Meski dilahirkan dari keluarga yang kaya raya, namun kehidupan mudanya tidaklah mudah. Orang tuanya meninggal saat ia masih remaja sehingga membuatnya berjuang membangun diri sendiri untuk berkarier.

Ibnu Khaldun menulis beberapa karya termasuk otobiografi dan yang terkenal "The Muqaddimah" membuat ia termasyhur hingga sekarang. Buku tersebut tidak pernah kehilangan relevansinya dan para sejarawan selama berabad-abad telah mengakui pentingnya karya-karya Ibnu Khaldun.

Baca juga: Ashabiyah

Pengertian Ashabiyah Menurut Ibnu Khaldun

Istilah ashabiyah berasal dari bahasa Arab yang berarti semangat golongan atau partai. Mengutip pernyataan Charles Issawi dalam buku Paradigma Pengembangan Masyarakat oleh Wendy Melfa, menyatakan ashabiyah adalah faktor penggerak kekuasaan dan para pendukungnya untuk maju terus ke depan.

Ashabiyah sebagaimana diungkapkan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah adalah rasa cinta/fanatisme seseorang terhadap keturunan, keluarga, dan golongannya. Perasaan kasih dan cinta timbul secara alami sebagai sifat dasar manusia yang merupakan pemberian Allah. Dengan sifat tersebut muncul sikap saling menolong dan membantu.

Lebih lanjut, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa asal usul ashabiyah berasal dari pemuliaan ikatan darah adalah sesuatu yang tabi'i pada watak manusia. Dengan membangkitkan perasaan supaya hendaknya janganlah ada cedera atau bencana yang datang menimpa, orang akan merasa malu jika kaum atau kerabatnya diperlakukan tidak baik atau diserang, ini adalah salah satu contoh dorongan tabi'i pada manusia sejak manusia itu muncul di dunia.

Peran Ashabiyah dalam Sosial-Politik

Menurut Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, dalam uraiannya tentang peran sosial ashabiyah, ia mengatakan bahwa ashabiyah merupakan jalinan sosial yang membuat bangsa bersatu padu. Kemudian, ashabiyah memiliki dua peran dalam sosial yaitu menumbuhkan solidaritas sosial serta kekuatan dalam jiwa kelompoknya dan mempersatukan berbagai ashabiyah yang bertentangan sehingga menjadi suatu kelompok manusia yang besar dan bersatu.

Kemudian ashabiyah merupakan kekuatan politik yang mendorong pembentukan sebuah negara atau dinasti. Ashabiyah mensyaratkan adanya pemimpin, yakni seseorang yang mendapat dukungan dari keluarga dan pengikutnya.

Dalam konsep ashabiyah tidak semua bisa jadi pemimpin, sebab pemimpin diperoleh dengan kemenangan, oleh karena itu ashabiyah pimpinan harus lebih kuat dari ashabiyah-ashabiyah lain agar kemenangan tersebut dapat terwujud. Adapun tujuan yang dicapai ashabiyah adalah kekuasaan.

Perkembangan dan Runtuhnya Negara

Dalam tahap perkembangan suatu negara, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa masyarakat akan melalui tahapan-tahapan berjenjang. Umur suatu negara biasanya hanya tiga generasi dengan hitungan satu generasi sama dengan 40 tahun, maka dengan demikian umur suatu negara hanya 120 tahun. Umur tiga generasi tersebut menjadi lima tahapan yang harus dilalui, yakni:

1. Tahap Pendirian Negara

Tahap pertama ini tidak akan tegak kecuali dengan ashabiyah (solidaritas sosial). Karena dengan adanya ashabiyah akan membuat orang menyatukan upaya untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu mempertahankan diri, dan menolak atau mengalahkan musuh.

2. Tahap Pemusatan Kekuasaan

Menurut Ibnu Khaldun tahap ini merupakan kecenderungan yang alamiah pada manusia. Karena seorang pemimpin melihat bahwa kekuasaannya telah mapan maka ia akan berupaya, menghancurkan ashabiyah, memonopoli kekuasaan dan menjauhkan anggota-anggota ashabiyah dari roda pemerintahan.

3. Tahap Kekosongan dan Kesantaian

Menurut Ibnu Khaldun tahap ketiga ini tahap dimana untuk menikmati buah kekuasaan yang seiring dengan watak manusia, seperti mengumpulkan kekayaan, mengabadikan peninggalan-peninggalan dan meraih kemegahan. Berbagai upaya dicurahkan oleh sang pemegang kekuasaan seperti menarik pajak, membangun gedung-gedung tinggi dan bangunan yang menjulang tinggi.

4. Tahap Ketundukkan dan Kemalasan

Pada tahap ini pemegang kekuasaan menerima apa saja yang dibina para raja sebelumnya dan mengikuti apa yang dilakukan para pemegang kekuasaan sebelumnya. Negara pada saat ini dalam keadaan statis, tidak ada perubahan yang terjadi dan negara seakan-seakan berada diujung kisah.

5. Tahap Keruntuhan Kekuasaan

Negara pada tahap ini telah memasuki masa ketuaan dan dihinggapi penyakit kronis yang hampir tidak dapat dihindari. Hingga pada saatnya menuju keruntuhan dan hancur.

Menurut Ibnu Khaldun ada dua faktor yang menyebabkan disintegrasi negara, yaitu hilangnya ashabiyah dan tidak adanya sumber keuangan yang kuat. Ini akibat dari pemegang kekuasaan yang gemar berfoya-foya sehingga negara mengalami keruntuhan baik secara politis maupun ekonomi.




(hnh/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads