Ketika seseorang hendak menikah, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh si calon pengantin. Syarat itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari rukun-rukunnya.
Rukun nikah ada 5 yaitu calon pengantin pria, calon pengantin wanita, wali, dua saksi, dan akad nikah. Jika salah satu rukun itu tidak terpenuhi, maka pernikahan dinyatakan tidak sah.
Perlu diperhatikan bahwa salah satu masalah yang sering timbul adalah ketiadaan wali, terutama ketika ada pasangan yang ingin menikah tanpa persetujuan dari orang tua. Namun, pernikahan tanpa wali dinyatakan sebagai pernikahan yang tidak sah menurut hukum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketidakvalidan ini telah dijelaskan dengan tegas hingga tiga kali dalam hadis Rasulullah saw.
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ، وَأَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ وَلِيٍّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ بَاطِلٌ بَاطِلٌ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلِيُّ فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Artinya, "Tidak ada pernikahan tanpa wali. Perempuan mana pun, perawan atau janda yang menikah tanpa wali maka nikahnya adalah batal, batal, batal (tidak sah)." (HR. Ahmad).
Mengutip laman Kemenag, pernikahan siri juga harus memenuhi rukun dan syarat pernikahan. Bukan berarti pernikahan itu tanpa wali, melainkan pernikahan tersebut hanya tidak teregistrasi secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) atau tidak memiliki akta nikah yang sah secara hukum.
Namun, kekurangan dari pernikahan siri adalah bisa merugikan pihak perempuan di masa depan. Ini termasuk ketidakberadaan buku nikah resmi, ketiadaan pengakuan hukum yang positif, kesulitan dalam mengklaim hak nafkah jika terjadi masalah dalam hubungan pernikahan, kesulitan dalam mengurus dokumen administratif kependudukan, serta kendala dalam mengklaim hak waris jika ada perselisihan yang harus diselesaikan di pengadilan, dan sebagainya.
Walau begitu, pernikahan tanpa kehadiran wali nasab ayah kandung bukan berarti tidak dapat dilangsungkan. Pernikahan masih bisa disahkan dengan wakil wali atau wali yang berada dalam derajat yang sesuai (ab'ad), selama terdapat izin atau kuasa dari wali aqrab yang bersangkutan.
Ini disebabkan karena tidak sembarangan kakak kandung atau wali aqrab lainnya dapat melangsungkan pernikahan tanpa persetujuan ayah kandung, yaitu orang tua Anda dalam konteks ini. Sebab, hak wali masih tetap berada pada ayah kandung.
Ketiadaan atau jarak yang jauh antara wali aqrab dengan calon pengantin tidak otomatis mengalihkan hak wali kepada wali ab'ad. Hal ini sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam dalil yang menyatakan:
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ إِلاَّ بِإِذْنِ وَلِيِّهَا
Artinya, "Tidak boleh dinikahkan seorang perempuan kecuali seizin walinya," (HR. Malik).
Ketika wali nasab berada dalam jarak yang jauh justru dapat digantikan oleh wali hakim, bukan oleh wali ab'ad. Tetapi tentu saja dengan memenuhi beberapa persyaratan tertentu. Salah satu persyaratan tersebut adalah jika wali nasab berada dalam jarak yang jauh, menolak untuk melangsungkan pernikahan, atau mengalami kendala yang mencegahnya hadir.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam kitab al-Muhadzab, beliau berkata:
"Jika wali tidak ada karena jauh sejauh jarak yang membolehkan sholat, maka si perempuan boleh dinikahkan oleh penguasa (wali hakim). Sedangkan wali yang ada di bawahnya tidak berhak menikahkan. Sebab, hak kewalian masih melekat pada wali yang jauh tadi. Karena itu, seandainya wali jauh tersebut menikahkan di tempatnya, maka akadnya sah. Pasalnya, kesulitan dari pihaknya sehingga digantikan posisinya oleh wali hakim, sebagaimana pula jika ia hadir tetapi tercegah untuk menikahkannya."
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi. Dalam kitab al-Muhadzab juz II halaman 429, Syekh Abu Ishaq mengatakan sebagai berikut:
"Jika wali berada di jarak yang tidak membolehkan qashar sholat, maka di sini ada dua pandangan. Pertama wali hakim tidak boleh menikahkan kecuali seizin wali yang haknya. Kedua wali hakim boleh menikahkan karena sulit dimintai izinnya. Ia diserupakan dengan wali yang jauh. Meski demikian, jika wali tidak ada dan hak kewalian beralih kepada wali hakim, maka hakim tetap disunahkan meminta izin kepada wali yang mendapat peralihan hak kewalian, sebelum menikahkannya. Hal itu demi keluar dari perdebatan. Sebab, menurut Abu Hanifah, yang berhak menikahkan adalah wali aqrab yang mendapat peralihan hak kewalian."
Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika wali berada dalam jarak yang jauh dan tidak dapat dihubungi, pernikahan dapat diadakan dengan wali hakim. Namun, wali hakim yang melangsungkan pernikahan haruslah wali hakim atau na'ib yang berwenang dalam wilayah tugasnya, dan ia harus hadir atas nama instansi yang sesuai, bukan atas nama pribadi seperti teman atau saudara.
Wallahu 'alam.
(hnh/erd)
Komentar Terbanyak
Di Masjid Al Aqsa, Menteri Garis Keras Israel Serukan Ambil Alih Gaza
Menteri Israel Pimpin Ibadah Yahudi di Halaman Masjid Al Aqsa
PBNU Kritik PPATK, Anggap Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Serampangan