Nafkah mut'ah adalah salah satu bentuk nafkah yang diberikan seorang laki-laki kepada mantan istrinya setelah terjadi perceraian di pernikahan mereka. Sebab meski telah bercerai, kewajiban mantan suami memberikan nafkah tidak serta merta hilang.
Islam sendiri menghalalkan perceraian namun perbuatan tersebut sangatlah dibenci Allah SWT. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
أبغض الحلال عند الله الطلاق
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artinya, "Sesuatu yang (pada dasarnya) halal tetapi sangat dibenci (atau paling dibenci) Allah SWT adalah talak (perceraian)."
Pengertian Nafkah Mut'ah
Pengertian kata mut'ah dalam KBBI dijelaskan sebagai sesuatu (uang, barang, dsb) yang diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) mantan istrinya. Mengutip jurnal ilmiah berjudul Hukum Mut'ah dan Iddah Istri dalam Perkara Khuluk oleh Taufiq Fathur Rouzke Saragih, dkk, mut'ah diartikan sebagai penghibur, pemberian suami terhadap istri yang diceraikan sebagai pengobatan hati atau kenang-kenangan yang diberikan suami sesuai kemampuannya.
Muhammad al-Khathib asy-Syarbainiy dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj menjelaskan nafkah mut'ah berarti sejumlah harta yang wajib diserahkan suami kepada istrinya yang telah diceraikannya semasa hidupnya dengan cara talak atau cara yang semakna dengannya. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 241, yang berbunyi:
وَلِلْمُطَلَّقَٰتِ مَتَٰعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ
Arab-Latin: Wa lil-muṭallaqāti matā'um bil-ma'rụf, ḥaqqan 'alal-muttaqīn
Artinya: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.
Hukum Nafkah Mut'ah Menurut para Ulama
Ulama Mazhab berbeda pendapat mengenai kategori istri yang berhak menerima nafkah mut'ah setelah diceraikan. Berikut penjelasan lengkapnya.
1. Mazhab Hanafi
Menurut Mazhab Hanafi mut'ah hukumnya wajib dalam dua bentuk perceraian. Pertama, perceraian mufawwidhah (tanpa mahar) sebelum terjadi persetubuhan.
Juga karena mut'ah dalam kondisi ini merupakan pengganti setengah bagian mahar wajib. Pengganti wajib adalah wajib karena dia menempati posisinya.
Kedua, perceraian yang terjadi sebelum persetubuhan dalam pernikahan yang di dalamnya tidak disebut mahar. Hanya saja diwajibkan setelahnya menurut pendapat Abu Hanifah.
Mut'ah hukumnya Sunnah menutur Mazhab Hanafiyah dalam keadaan thalak yang terjadi setelah dukhul dan dalam keadaan thalak sebelum dukhul dalam pernikahan yang di dalamnya telah ditentukan maharnya. Karena sesungguhnya mut'ah diwajibkan sebagai pengganti dari setengah mahar.
2. Mazhab Maliki
Menurut Mazhab Maliki, sesungguhnya mut'ah disunnahkan untuk setiap perempuan yang ditalak. Mereka berpendapat ada 3 jenis perempuan yang ditalak:
- Perempuan yang ditalak sebelum digauli dan sebelum disebutkan mahar memiliki hak mut'ah, dan tidak memiliki hak sedikitpun pada mahar.
- Perempuan yang ditalak sebelum digauli, dan setelah disebutkan maharnya tidak memiliki hak mut'ah.
- Perempuan yang ditalak setelah digauli, baik sebelum disebutkan maharnya maupun setelahnya, memiliki hak mut'ah.
3. Mazhab Syafi'i
Mazhab Syafi'i mereka berpendapat, mut'ah wajib bagi setiap perempuan yang diceraikan, baik perceraian tersebut sebelum terjadi persetubuhan maupun setelahnya. Kecuali perempuan yang setelah digauli yang telah ditentukan mahar untuknya, maka dia hanya cukup mendapatkan setengah bagian mahar.
4. Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali sependapat dengan Mazhab Hanafi secara general, yakni mut'ah wajib bagi setiap suami yang merdeka dan budak, orang muslim dan ahli dzimmah untuk setiap istrinya yang ditalak sebelum digauli dan sebelum diterapkan mahar untuknya. Tidak ada mut'ah bagi perempuan yang maharnya telah ditentukan setelah persetubuhan.
Kadar Pemberian Mut'ah
Tidak ada nash yang menentukan kadar dan jenis mut'ah, sehingga para fuqaha melakukan ijtihad dalam menentukan kadarnya. Mazhab Hanafi menentukan kadar mut'ah adalah tiga buah baju, rompi (baju yang dikenakan orang perempuan di atas baju), kerudung, jubah yang digunakan perempuan untuk menutupi tubuhnya dari bagian kepala hingga kaki.
Mazhab Syafi'i berpendapat, mut'ah sebaiknya tidak kurang dari 30 dirham atau barang lain yang senilai, dan ini adalah nilai paling rendah. Mut'ah tertinggi adalah memberikan pembantu dan yang ditengah-tengah adalah memberikan dan sunnahnya mut'ah itu tidak boleh melebihi separuh nilai mahar mitsil.
Mazhab Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa pemberian mut'ah dilihat dari kondisi suami kaya atau miskin. Orang yang kaya sesuai dengan kadarnya sedangkan orang miskin juga sesuai kadarnya.
(hnh/erd)
Komentar Terbanyak
Saudi, Qatar dan Mesir Serukan agar Hamas Melucuti Senjata untuk Akhiri Perang Gaza
Dari New York, 15 Negara Barat Siap Akui Negara Palestina
Daftar Kekayaan Sahabat Nabi