Tentang Rebo Wekasan, Tradisi Mohon Perlindungan Allah di Rabu Terakhir Safar

Tentang Rebo Wekasan, Tradisi Mohon Perlindungan Allah di Rabu Terakhir Safar

Anisa Rizki Febriani - detikHikmah
Selasa, 12 Sep 2023 12:30 WIB
Upacara adat Rebo Wekasan di Pleret, Bantul, Selasa (20/9/2022).
Ilustrasi Rebo Wekasan (Foto: Pradito Rida Pertana/detikJateng)
Jakarta -

Rebo Wekasan tergolong ke dalam tradisi masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura. Hingga kini, tradisi tersebut masih dilakukan di berbagai daerah dengan tujuan menolak bala atau kesialan.

Sesuai dengan namanya, Rebo Wekasan berarti Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Islam. Karenanya, masyarakat lokal menilai perlu ada ritual untuk memohon perlindungan pada Allah SWT.

Menukil buku Kitab Doa-Doa Tolak Bala susunan Siti Nur Aidah, dikatakan bahwa bulan Safar identik dengan cuaca pancaroba yang mana kurang baik. Karenanya, mengadakan tradisi Rebo Wekasan dianggap dapat menolak bala atau bencana yang ada di daerah mereka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengutip laman resmi Desa Suci Kabupaten Gresik, terkait sejarah Rebo Wekasan sendiri telah ada sejak masa penyebaran Islam di Indonesia. Masyarakat Jawa meyakini hari Rabu terakhir pada Bulan Safar tergolong ke dalam hari naas dari kepercayaan lama kaum Yahudi.

Lalu, di tahun 1602 tepatnya pada Bulan Safar, beredar kabar rencana terkait penjajahan Belanda di Jawa. Masyarakat lantas melaksanakan serangkaian ritual menolak kedatangan penjajah tersebut dan berkembang menjadi tradisi Rebo Wekasan.

ADVERTISEMENT

Lantas, bagaimana pandangan Islam mengenai tradisi Rebo Wekasan?

Pandangan Islam Mengenai Tradisi Rebo Wekasan

Tradisi Rebo Wekasan ini menuai pro-kontra dari berbagai kalangan karena dianggap tidak ada dalil khusus. Meski begitu, Syekh Abdul Hamid Kudus dalam kitab Kanzun Najah was Surur menyebutkan bahwa, "Allah menurunkan ratusan ribu jenis musibah dan kesialan pada hari Rabu terakhir bulan Safar," hal ini menjadi dasar dilakukannya ritual Rebo Wekasan.

Di samping itu, dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Nabi SAW bersabda:

"Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Safar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang." (HR Bukhari dan Muslim)

Menurut al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, hadits tersebut adalah respon Rasulullah SAW terhadap tradisi yang berkembang di masa jahiliyah. Ibnu Rajab menulis: Maksud hadits di atas, orang-orang jahiliyah meyakini datangnya sial pada bulan Safar. Maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut.

Menukil dari NU Online, sakit atau sehat, musibah atau selamat, semuanya kembali kepada kehendak Allah SWT. Penularan hanya sarana berjalannya takdir Allah.

Ritual tersebut tidak ada tuntunannya dalam Islam, tetapi nilai yang terkandung dalam sebagian ritual masih memiliki sisi keislaman. Contohnya salat Rebo Wekasan dilakukan dengan niat salat sunnah mutlak, bukan niat khusus salat Rebo Wekasan.

Namun, dari sisi lain tradisi Rebo Wekasan juga menjadi sarana mendekatkan diri pada Allah agar terhindar dari Bencana. Sebab, Allah Maha Adil yang selalu menjaga keseimbangan alam, jika hamba-Nya baik maka alam akan stabil, pun sebaliknya.

Dijelaskan dalam buku Bahasa Indonesia Tingkat Lanjut untuk Mahasiswa susunan Hamidulloh Ibda, Rebo Wekasan menjadi bagian dari ikhtiar menjaga keseimbangan alam. Pada tradisi tersebut, manusia mendekatkan diri pada Allah agar dijauhkan dari bala yang di dalamnya ada musibah.

Hukumnya dikembalikan lagi kepada keyakinan masing-masing umat muslim tergantung pada tujuan teknis pelaksanaan. Apabila niat dan pengerjaan tradisi Rebo Wekasan sesuai dengan ketentuan syariat maka diperbolehkan. Namun, bila ada penyimpangan baik dalam keyakinan ataupun caranya maka haram hukumnya.

Wallahu a'lam bishawab.




(aeb/erd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads