Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Haji dan Umrah baru saja diundangkan. Salah satu pasalnya menuai sorotan dan kegelisahan publik: legalisasi umrah mandiri. Untuk pertama kalinya dalam sejarah regulasi ibadah umat Islam di Indonesia, pemerintah membolehkan warganya berangkat umrah tanpa melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) resmi, berizin, dan terakreditasi.
Kebijakan ini sekilas tampak modern dan progresif-sejalan dengan semangat digitalisasi dan kemudahan akses. Namun di balik retorika efisiensi itu, tersembunyi persoalan serius: negara melepaskan tanggung jawab perlindungan terhadap warganya dalam urusan ibadah yang berisiko tinggi.
Umrah bukan sekadar perjalanan wisata religi. Ia adalah perjalanan spiritual lintas negara, melibatkan kontrak jasa, visa, akomodasi, transportasi, dan pendampingan ritual yang kompleks. Negara melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 sebelumnya telah menetapkan bahwa penyelenggaraan umrah dikategorikan sebagai kegiatan berisiko tinggi. Artinya, seluruh prosesnya wajib diawasi dan dikelola oleh penyelenggara berizin, agar jamaah terlindungi dari penipuan, kehilangan, dan eksploitasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, melalui UU 14/2025, pemerintah justru membuka celah baru. Pasal tentang umrah mandiri memungkinkan umat Islam membeli paket perjalanan secara langsung melalui platform daring atau pihak luar negeri tanpa harus melalui PPIU Indonesia.
Pertanyaannya sederhana: siapa yang akan melindungi jamaah ketika terjadi penipuan, gagal berangkat, atau terlantar di Tanah Suci?
Negara Kehilangan Pajak, Jamaah Kehilangan Perlindungan
PPIU resmi adalah badan hukum yang tunduk pada regulasi nasional. Mereka memiliki kewajiban membayar pajak, memenuhi standar pelayanan, menyediakan asuransi perjalanan, serta memastikan bimbingan ibadah sesuai manasik syar'i. Dengan dibukanya umrah mandiri, rantai tanggung jawab ini terputus.
Pemerintah memang bisa berdalih bahwa era digital membuka peluang umat untuk mengatur sendiri perjalanannya. Tetapi secara faktual, liberalisasi ibadah ini mengabaikan dua hal:
1. Aspek perlindungan jamaah, karena tidak semua warga memahami sistem visa, bahasa, hingga regulasi Arab Saudi.
2. Aspek fiskal negara, karena transaksi yang langsung dilakukan melalui platform asing akan mengalirkan devisa tanpa kendali dan tanpa setoran pajak.
Kebijakan ini berpotensi membuat Indonesia kehilangan ratusan miliar rupiah dari pajak perjalanan umrah setiap tahunnya. Padahal, sektor haji dan umrah merupakan salah satu tulang punggung ekonomi keumatan yang melibatkan ribuan pelaku usaha kecil: pembimbing, katering, transportasi, pemandu, dan penyedia perlengkapan ibadah.
Dengan kata lain, legalisasi umrah mandiri tidak hanya melemahkan sistem perlindungan jamaah, tetapi juga mematikan ekosistem ekonomi umat yang selama ini tumbuh secara sah dan teratur.
Mengabaikan Sejarah dan Akal Sehat
Sejak era reformasi hingga kini, perjalanan panjang pengawasan haji dan umrah tidak lepas dari upaya memperbaiki tata kelola yang buruk. Kasus penipuan jamaah umrah seperti First Travel, Abu Tours, dan lainnya menjadi pelajaran berharga. Ribuan umat tertipu, miliaran rupiah raib, dan negara dipersalahkan karena gagal melakukan pengawasan.
Kini, dengan disahkannya UU baru, pemerintah justru seperti membuka kembali gerbang menuju kekacauan lama. Bedanya, kali ini dilegalkan dengan tanda tangan dan stempel negara.
Ironinya, dalam saat yang sama, Indonesia baru saja mendirikan Kementerian Haji dan Umrah-sebuah lembaga yang lahir dari semangat untuk memperkuat tata kelola ibadah dan memberdayakan pelaku industri berizin. Namun, pasal legalisasi umrah mandiri justru bertolak belakang dengan semangat pendirian kementerian itu.
Apa gunanya kementerian khusus bila pada saat yang sama negara memperbolehkan umatnya berangkat tanpa perlindungan resmi?
Umat Dibiarkan Sendiri
Kebijakan ini seolah menunjukkan bahwa negara tidak lagi ingin terlibat dalam tanggung jawab moral dan administratif terhadap ibadah warganya. Umat diserahkan pada logika pasar bebas, di mana siapa cepat dia dapat, siapa salah tanggung sendiri.
Padahal, esensi perlindungan jamaah tidak sekadar administratif, melainkan perintah moral dan konstitusional. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadah menurut keyakinannya. Jaminan itu seharusnya diwujudkan dalam bentuk regulasi yang melindungi, bukan membiarkan.
Jika pemerintah benar-benar ingin mengefisienkan sistem umrah, solusinya bukan dengan membiarkan warga berangkat sendiri tanpa pengawasan, melainkan memperbaiki sistem digital PPIU, mempercepat akreditasi, dan memperkuat pengawasan lintas negara.
Seruan untuk Meninjau Ulang
Kebijakan umrah mandiri bukan hanya soal regulasi, tapi juga soal keadilan sosial dan moral negara terhadap umatnya. Pemerintah harus sadar bahwa ibadah bukan komoditas pasar bebas. Jamaah bukan konsumen biasa, dan Tanah Suci bukan destinasi wisata umum.
Sudah saatnya DPR dan Kementerian Haji dan Umrah meninjau ulang pasal tersebut. Sebab jika dibiarkan, bukan hanya jamaah yang dirugikan, tapi juga citra negara yang selama ini dikenal sebagai penyelenggara haji dan umrah terbaik di dunia.
Negara harus kembali berpihak kepada rakyatnya-melindungi, bukan melepaskan; mengatur, bukan membiarkan; menegakkan keadilan, bukan membuka ruang ketidakpastian.
Legalisasi umrah mandiri mungkin dimaksudkan untuk memberi kemudahan. Tapi kemudahan tanpa perlindungan adalah kelalaian. Ketika jamaah terlantar, ketika pajak negara hilang, ketika pelaku usaha resmi gulung tikar-maka sejarah akan mencatat bahwa negara pernah memilih jalan paling mudah: lepas tangan atas ibadah suci umatnya sendiri.
H. Ahmad Barakwan
Penulis adalah Ketua Bidang Umrah Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia/DPP AMPHURI
Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
(erd/erd)












































Komentar Terbanyak
Wamenag Romo Syafi'i Menikah Hari Ini, Habib Rizieq Jadi Saksi
Rieke Diah Pitaloka Geram, Teriak ke Purbaya Gegara Ponpes Ditagih PBB
Pemerintah RI Legalkan Umrah Mandiri, Pengusaha Travel Umrah Syok