Sebelum Islam masuk dan menyebar di wilayah Nusantara, bagi pemimpin tertinggi di kerajaan dikenal dengan sebutan raja. Namun, setelah Islam mulai menyebar luas raja pada zaman Islam disebut sultan.
Melansir dari Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2021) karya Chambert-Loir yang diterjemahkan oleh Winarsih Arifin, para penguasa muslim lebih suka memakai gelar sultan, yang sudah menyebar luas.
Pada asalnya, sultan adalah kata abstrak yang berarti "kekuasaan". Namun, pada masa Dinasti Saljuk (abad ke-11 hingga 12) mengungguli para Khalifah Baghdad yang telah mengalami kemunduran, gelar sultan menjadi sebuah sinonim dengan "penguasa".
Gelar itu kian menjadi tersohor di bawah pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir (1250-1517) sebelum mencapai puncaknya pada masa kekuasaan Dinasti Ottoman yang menjadi penerusnya.
Tome Pires, pengamat abad ke-16, menyebut bahwa penguasa muslim yang utama di Nusantara semuanya memakai gelar "sultan", sedangkan raja-raja kecil cukup puas dengan gelar asal India, yakni "raja".
Bukan hanya itu, Milner mengajukan pendapat bahwa model Indo-Persia dari lembaga kerajaan dianggap sesuai dengan gagasan Melayu yang ada tentang kekuasaan dan menjelaskan mengenai islamisasi para penguasa.
Apapun asalnya yang pasti, penggunaan gelar bahasa Arab dalam konteks Melayu merupakan satu segi dari penyesuaian dengan tradisi kerajaan Islam yang ada di luar daerah, bukan sekadar untuk menghapus struktur lokal yang ada.
Semua gelar yang dipakai oleh para penguasa ini merupakan sebagai bagian dari proses islamisasi yang terjadi secara terus-menerus.
Lama-kelamaan gelar sultan ini digunakan untuk menunjukkan hubungan dengan sebuah dunia yang jauh lebih luas, di mana setiap penguasa mengakui dirinya sebagai wali Allah di setiap wilayahnya masing-masing. Entah itu dengan atau tanpa dukungan dari para kaum ulama.
Marwati Djoened Poesponegoro dalam buku Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia mencatat, gelar raja atau maharaja pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam masih digunakan pada beberapa kerajaan.
Hingga pada akhirnya akibat pengaruh Islam gelar tersebut berubah nama menjadi sultan. Gelar sultan yang pertama kali di Indonesia dipergunakan oleh Sultan Malik as-Saleh seperti tertera pada nisan kuburnya pada tahun 696 H (1297 M) yang ditemukan di Gampong Samudra, bekas kerajaan Samudera Pasai, Kabupaten Lhokseumawe.
Sementara itu, Tarmizi Taher dalam buku Menyegarkan Akidah Tauhid Insan menjelaskan bahwa dalam struktur kekuasaan kerajaan bercorak Islam yang menjadi penguasa tertinggi adalah raja yang diberi gelar sultan.
Pada masa awal berdirinya, beberapa kerajaan Islam belum memakai gelar sultan. Gelar-gelar yang dipakai berkaitan dengan gelar keagamaan, seperti Maulana. Misalnya saja Maulana Hasanuddin, Maulana Muhammad, dan semua raja-raja Banten pertama hingga ketiga.
Di daerah Jawa, gelar sultan baru dipakai pada sekitar permulaan abad ke-17 M, ketika Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdul Kadir memerintahkan agar Syarif dan Mufti dari Makkah memberi gelar sultan kepadanya.
Dalam fase pertama berdirinya kerajaan Islam ini, peranan para mubaligh sangat penting dalam usaha konstitusional kerajaan. Begitu pula dengan faktor legitimasi ulama sangat penting untuk mengukuhkan raja jadi penguasa yang sah di suatu kerajaan.
Hal itu dapat dibuktikkan dalam hikayat raja-raja Pasai, disebutkan bahwa Merah Silu, raja pertama Samudera Pasai memperoleh legitimasi sebagai sultan melalui mimpi bertemu dengan utusan Nabi Muhammad SAW bernama Syaikh Ismail.
Syaikh Ismail kemudian mentasbihkannya menjadi Sultan Samudera Pasai dengan gelar Malik al-Saleh. Begitu pula yang disebutkan dalam Babad Tanah Jawi dikatakan bahwa raja-raja Jawa seperti raja Demak, Raden Patah, naik tahta dan ditasbihkan oleh Sunan Ampel Maulana Rahmat.
Simak Video "Video: Kondisi Terkini Sultan Brunei Hassanal Bolkiah Setelah Dirawat di RS"
(kri/kri)