Komnas Haji Bicara Kisruh Haji 2024: Pemerintah Berjibaku, DPRnya Reses

Komnas Haji Bicara Kisruh Haji 2024: Pemerintah Berjibaku, DPRnya Reses

Anisa Rizki Febriani - detikHikmah
Rabu, 20 Agu 2025 11:45 WIB
Ketua Komnas Haji Mustolih Siradj
Ketua Komnas Haji Mustolih Siradj (Foto: Dok Humas Kemenag)
Jakarta -

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pemerintah menetapkan kuota haji khusus sebesar 8 persen dari kuota haji Indonesia. Dengan begitu, haji reguler mendapat kuota sebesar 92 persen. Ketua Komnas Haji Mustolih Siradj menyebut tak ada frasa paling banyak atau paling sedikit pada UU tersebut.

"UU No 8/2019 yang eksisting hari ini, kuota haji khusus angkanya sebesar 8%. Tidak ada frasa paling banyak, tidak ada paling sedikit," ujarnya dalam keterangan yang diterima detikHikmah, Selasa (19/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mustolih menilai pembagian kuota sesuai aturan UU itu sulit diimplementasikan. Terlebih, melihat adanya kuota yang tak terserap pada ibadah haji karena beberapa faktor, seperti meninggal dunia, hamil dan sebagainya.

"Ini akan sulit diimplementasikan. Karena pasti dalam penyelenggaraan ibadah haji itu ada kuota yang tidak terserap. Pasti, karena ini menyangkut manusia. Bisa karena meninggal dunia, bisa hamil, bisa sakit, atau hambatan-hambatan lain," terangnya menguraikan.

ADVERTISEMENT

Apabila kuota haji itu tak terserap sepenuhnya, Mustolih mengatakan pemerintah atau penyelenggara haji melanggar aspek besaran kuota. Berkaitan dengan itu, ia mencontohkan kisruh haji yang terjadi pada 2024 lalu ketika pemerintah berjibaku sementara DPR sedang dalam masa reses.

"Tapi sayangnya ini belum dipahami. Apalagi dalam draft revisi UU yang baru nanti, DPR terlibat dalam penentuan kuota haji. Maka akan sangat birokratis, sementara dikejar waktu dalam penyelenggaraan ibadah haji. Seperti yang terjadi di tahun 2024, DPR sedang reses dan menghadapi pemilu, sementara pemerintah berjibaku menyelenggarakan ibadah haji," ungkapnya.

Mustolih menyebut terdapat masalah lain jika haji reguler tak bisa menghabiskan kuota yang ditentukan.

"Maka idealnya adalah karena teman-teman PIHK atau Haji Khusus mereka adalah B to C (Business to Customer), lebih fleksibel. Kalau haji reguler kan paradigma procurement atau pengadaan sehingga kaku, birokratis dan terlalu rumit. Tapi beda dengan PIHK yang bisa lebih fleksibel," sambungnya.

Pria yang juga merupakan doktor hukum itu menuturkan bahwa frasa yang tepat untuk kuota haji khusus adalah minimal 8 persen. Sebab, kuota tambahan tidak terjadwal dan diberikan secara tiba-tiba dalam waktu yang singkat. Karenanya, pemerintah sulit mengisi secara mendadak.

"Kita tahu yang namanya kuota tambahan itu tidak terjadwal, tiba-tiba diberikan, dan dalam waktu yang sangat singkat harus diisi, sehingga sulit pemerintah mengisi mendadak. Contohnya tahun 2019 dan tahun 2022 yang dimana kita mendapatkan kuota tambahan. Tetapi karena waktunya sangat mepet, akhirnya tidak dioptimalkan," katanya menguraikan.

Menurut Mustolih, penggunaan konstruksi kuota haji khusus paling tinggi 7 persen dan kuota haji reguler 92 persen dapat menyebabkan kerentanan pada persoalan hukum karena ketidakmampuan penyerapan kuota dan tak sesuai UU yang berlaku.

"Beda jika dalam UU, kuota haji khusus frasa nya paling sedikit 8%, maka ketika Arab Saudi memberikan kuota tambahan sementara pemerintah tidak siap mengisinya, teman-teman PIHK bisa mengisi dengan haji khusus," tandasnya.




(aeb/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads