13 Asosiasi Penyelenggara Ibadah Haji dan Umrah memberikan usulan terkait Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU). Mereka menaungi 3.421 Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) / Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) di seluruh Indonesia.
Ketua 13 Asosiasi Penyelenggara Ibadah Haji dan Umrah Firman Taufik menyebut bahwa salah satu isu krusial yang mereka kawal terkait pembatasan maksimal kuota haji khusus 8% dari total kuota nasional. Menurutnya, kebijakan tersebut menciptakan ketidakpastian bagi jemaah haji khusus.
"Batas maksimal 8% menciptakan ketidakpastian bagi jemaah yang sudah mendaftar bertahun-tahun, per 12 Agustus kemarin ada 144.771 jemaah yang saat ini mengantri di Haji Khusus," terangnya melalui konferensi pers bertajuk Penyelamatan Perekonomian Berbasis Keumatan dalam Penyelenggaraan Haji dan Umrah di Ballroom Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, Rabu (13/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Himpuh itu menyebut bahwa haji khusus menjadi solusi bagi jemaah lansia, sakit atau terbatas waktu. Selain itu, haji khusus dapat menyerap kuota tambahan yang kerap kali tak terserap secara maksimal karena keterbatasan pemerintah.
Beberapa negara muslim lain disebut menjadi contoh penyelenggaraan haji khusus seperti Turki yang kuota hajinya dikelola hingga 40% oleh swasta dari total kuota keseluruhan. Sementara itu, Mesir memberikan porsi swasta hingga 65%, India dan Pakistan masing-masing 50% dan Bangladesh memiliki porsi swasta hingga 93%. Negara-negara tersebut terbukti mampu meningkatkan kualitas layanan dan menggerakan ekonomi umat serta penyerapan kuota secara optimal.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat AMPHURI Firman M Nur menyebut kebijakan pembatasan kuota haji khusus maksimal 8 persen dapat berdampak pada jemaah yang memilih jalur haji khusus karena alasan kesehatan, usia, serta keterbatasan waktu cuti.
"Jemaah haji khusus itu juga rakyat Indonesia yang perlu dilayani oleh pemerintah dan para pelaku usaha. Sangat banyak rakyat yang memilih daftar haji khusus karena faktor usia, kesehatan, cuti pendek, dan lainnya," ungkapnya.
Sebagaimana diketahui, dalam draf RUU yang menjadi usul inisiatif DPR pada 24 Juli 2025, pasal 64 mengatur kuota haji khusus paling tinggi 8% dari total keseluruhan kuota. Tetapi, di bagian penjelasan disebutkan penyerapan kuota tambahan belum maksimal.
"Ini paradoks. Di satu sisi diakui penyerapan belum optimal, tapi di sisi lain justru dibatasi," ungkap Ketua Umum HIMPUH Firman Taufik.
Wakil Ketua Umum ASPHIRASI Ahmad Mutshanna juga mengatakan bahwa usulan minimal 8% itu dimaksudkan agar sisa kuota yang tidak terserap tidak menjadi kerugian negara.
"Sisa kuota itu juga bisa menjadi dilema, bisa ada kerugian di situ. Ini mungkin hal yang perlu diluruskan, sisa kuota itu ketika tidak terserap menjadi kerugian buat negara," ujarnya.
Ia juga menegaskan usulan tersebut tidak membatasi potensi penyerapan maksimal kuota. Menurutnya, usulan tersebut dapat mengurangi kerugian negara.
"Justru ini bisa mengurangi kerugian negara akibat kontrak-kontrak yang tidak terisi," sambungnya.
Berdasarkan data per 12 Agustus 2025, tercatat 144.771 jemaah haji khusus yang mengantre. Batasan kuota tersebut menurut Sekjen ASPHURINDO Muhammad Iqbal bisa menciptakan ketidakpastian bagi jemaah yang telah mendaftar bertahun-tahun.
"Haji khusus juga bisa membantu mengurai kapasitas terbatas di Mina," jelasnya.
Dilihat dari kacamata bisnis, pembatasan kuota dapat mengurangi peran 3.421 penyelenggara haji dan umrah berizin resmi yang selama ini menggerakkan ekosistem ekonomi umat, mulai dari penyedia transportasi, akomodasi, katering, bahkan UMKM penunjang.
(lus/lus)
Komentar Terbanyak
Rekening Isi Uang Yayasan Diblokir PPATK, Ketua MUI: Kebijakan yang Tak Bijak
Rekening Buat Bangun Masjid Kena Blokir, Das'ad Latif: Kebijakan Ini Tak Elegan
Ayu Aulia Sempat Murtad, Kembali Syahadat karena Alasan Ini