Di tengah teriknya matahari Makkah dan hiruk pikuk jutaan jemaah dari seluruh dunia, Yuni Puspita Sari menjalani sepuluh hari yang akan selalu membekas dalam hidupnya. Seorang bidan sekaligus dosen Fakultas Kedokteran di Universitas Pertahanan ini memilih jalan yang tak biasa: bergabung sebagai petugas safari wukuf dalam pelaksanaan ibadah haji tahun 2025.
"Ketika ada program ini, saya bukan diminta, tapi meminta untuk menjadi petugas safari wukuf," kata Yuni kepada tim Media Center Haji (MCH), Jumat (13/6/2025), seperti dikutip dari situs Kemenag.
Bersama 119 petugas lainnya, Yuni mengabdikan dirinya untuk mendampingi para jemaah lanjut usia dan berkebutuhan khusus selama fase puncak ibadah haji, yang berlangsung dari 1 hingga 10 Juni. Ia tahu betul bahwa tugas ini bukan perkara ringan. Tapi panggilan nurani dan latar belakang profesinya membuat langkahnya mantap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cerita Haru dan Tawa di Hotel Jemaah
Selama sepuluh hari di hotel, Yuni bukan hanya merawat fisik para jemaah, tetapi juga menjadi pendengar setia, penghibur, bahkan "keluarga" bagi mereka. Di antara 477 jemaah yang ia dan tim rawat, ada banyak kisah unik yang tersimpan.
Salah satunya tentang Nenek Rosidah yang kerap dipanggil "Nenek Rudi". Usianya sudah lebih dari 70 tahun dan ia mengalami demensia. Dalam keterbatasannya, Nenek Rosidah justru menjadi sosok yang penuh warna.
Ia sering mengambil barang atau kunci milik jemaah lain dan membuangnya ke tempat sampah, terkadang dibantu sahabatnya, Nenek Maria sesama jemaah dengan kondisi serupa.
"Akibat usilnya, kami harus mencari barang yang dibuang di tempat sampah tersebut dan dikembalikan ke pemiliknya," cerita Yuni.
Nenek Rosidah ini super aktif. Walaupun berulang kali diingatkan oleh petugas, nenek Rosidah tidak pernah marah. "Kalau kami tegur, ia tidak marah, happy aja," kata Yuni.
Ada juga seorang jemaah pria yang suka berpidato, diduga dulunya seorang guru. Dan seorang petani yang fasih melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an karena ternyata ia seorang hafidz. Setiap jemaah membawa kisah dan latar belakangnya masing-masing, membuat pelayanan ini terasa seperti membuka lembaran demi lembaran kehidupan manusia yang kaya makna.
Merawat Seperti Orang Tua Sendiri
Sebagai petugas, Yuni tak mengenal waktu. Tugasnya 24 jam penuh, mulai menyuapi makanan, membantu buang air, mengganti popok, menggendong, memapah, hingga mencucikan pakaian para jemaah.
"Menjadi petugas haji adalah harapan semua orang. Selain bisa beribadah, yang paling utama adalah melayani jemaah, kalau haji itu bonus," kata Yuni.
Untuk menjaga kebugaran para lansia, ia bahkan mengajak mereka senam ringan setiap pagi. Hasilnya luar biasa. Beberapa jemaah yang awalnya hanya bisa duduk, perlahan mampu berjalan.
Di sela-sela kesibukan, Yuni dan tim berusaha memenuhi setiap kebutuhan jemaah. Ada yang minta rempeyek, ada pula yang ingin bubur atau buah anggur. Permintaan itu selalu dicoba dipenuhi oleh dapur logistik sebuah bentuk perhatian kecil yang punya arti besar bagi para lansia.
"Ada yang minta anggur, ada yang minta bubur, ada yang minta rempeyek. Untungnya dari dapur sigap, sehingga semua permintaan itu terpenuhi," ujar Yuni.
Tak hanya itu, malam-malam di hotel kerap diisi dengan sesi curhat. Para jemaah yang datang sendiri tanpa pendamping sering merasa sepi. Mereka ingin bicara, ingin didengarkan, ingin ditelponkan kepada anak atau cucu di rumah. Dan Yuni, dengan sabar, menjadi jembatan antara kerinduan dan kenyataan.
"Kami curahkan semua kemampuan kami, kami rawat mereka layaknya orang tua sendiri. Sehingga keadaan mereka menjadi lebih baik," katanya.
Wukuf di Arafah: Tangis di Padang Rahmat
Puncak haji tiba. Yuni dan para petugas mendampingi jemaah ke Arafah dalam bus. Di sana, mereka memandikan, memakaikan pakaian ihram, memberi vitamin, lalu membimbing doa selama sekitar satu jam.
Saat pembimbing doa mulai melantunkan doa-doa penuh makna di Padang Arafah, tempat paling mustajab, satu per satu jemaah menangis. Mereka menengadah, memohon ampun, mengenang dosa, dan mensyukuri kesempatan untuk hadir di tempat yang begitu mulia.
"Ketika petugas bimbingan ibadah memandu doa di Arafah dan mengatakan Arafah adalah doa yang mustajab, mereka sontak berdoa dengan menangis, merenungi dosa dan mensyukuri nikmat Allah. Di sini kita merasa sangat terharu," ujar Yuni.
Setelah wukuf, perjalanan berlanjut ke Muzdalifah untuk murur, lalu kembali ke hotel. Untuk menyempurnakan ibadah para jemaah, para petugas seperti Yuni juga mendapat amanah mewakilkan lontar jumrah dan membantu tawaf ifadah.
"Setiap dari kita bertugas mewakilkan lontar jumrah 4-5 jemaah. Kita merasa senang sekali diberikan kepercayaan melayani mereka," ungkapnya.
Meski sepuluh hari itu penuh peluh dan air mata, Yuni tidak menyebutnya sebagai beban. Ia menyebutnya anugerah. Namun, ada satu harapan yang ia sampaikan di akhir cerita.
"Semakin sedikit jemaah safari wukuf, akan semakin berhasil penyelenggaraan haji, karena lansia yang berhaji dalam keadaan sehat," pungkas Yuni mengakhiri ceritanya.
(dvs/kri)
Komentar Terbanyak
Saudi, Qatar dan Mesir Serukan agar Hamas Melucuti Senjata untuk Akhiri Perang Gaza
Dari New York, 15 Negara Barat Siap Akui Negara Palestina
Mengoplos Beras Termasuk Dosa Besar & Harta Haram, Begini Penjelasan MUI