Setiap tahun, pada tanggal 9 Zulhijjah, Hari Arafah hadir sebagai momentum yang sangat agung. Dalam berbagai riwayat, disebutkan bahwa doa-doa di hari itu sangat mustajab, dan Allah melimpahkan ampunan serta rahmat-Nya secara luas kepada para hamba-Nya yang berkumpul di Arafah.
Hari itu adalah saat langit penuh kesaksian-para malaikat mencatat, air mata mengalir, dan hati kembali berserah. Tapi Arafah bukan hanya milik mereka yang berdiri di padang itu dengan pakaian ihram. Arafah juga bisa hadir dalam hati siapa saja yang mau berhenti sejenak, menanggalkan keangkuhan, dan bertanya pada diri: siapakah aku sebenarnya di hadapan Allah?
Arafah adalah momen puncak dalam ibadah haji, bukan hanya secara ritual, tetapi juga secara spiritual. Secara leksikal, 'Arafah berasal dari akar kata 'arafa-ya'rifu yang berarti "mengetahui" atau "mengenali." Maka Arafah bukan sekadar nama tempat, tetapi sebuah undangan ilahiah untuk mengenal diri, mengenal dosa-dosa, dan mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya pengenalan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tempat yang luas dan terbuka itu, manusia meninggalkan semua identitas duniawinya-tidak ada jabatan, tidak ada kehormatan sosial, tidak ada kekuasaan. Yang tersisa hanya kejujuran hati: air mata yang menyesal, jiwa yang berharap, dan keberanian untuk mengakui bahwa selama ini kita terlalu banyak bergantung pada selain-Nya.
Dalam konteks ini, Allah berfirman:
ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak ('Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 199).
Ayat ini bukan hanya perintah untuk bergerak secara fisik dari Arafah, tetapi juga seruan untuk bergerak secara batin: dari kealpaan menuju kesadaran, dari keangkuhan menuju pengakuan, dari kelalaian menuju istighfar. Maka Arafah menjadi saksi bahwa di sanalah manusia kembali kepada Allah-bukan dengan kebanggaan, tapi dengan penuh pengharapan dan kerendahan hati.
Arafah adalah ruang untuk mengenali diri sendiri. Bukan yang tampak di cermin, tapi yang tersembunyi di balik senyuman palsu, pencapaian, dan rutinitas ibadah yang mungkin tanpa ruh. Siapa aku? Apakah aku benar-benar hamba yang taat? Ataukah hanya menjalankan peran tanpa rasa? Di Arafah, pertanyaan-pertanyaan ini menggema lebih lantang dari suara manusia. Mereka menyentuh titik terdalam yang mungkin selama ini kita abaikan.
Maka wukuf di Arafah adalah saat paling tepat untuk muhasabah-sebuah perenungan mendalam yang bukan hanya tentang mengingat dosa-dosa, tetapi juga menimbang ulang arah hidup. Di manakah engkau kini berada? Apakah jalan yang engkau tempuh selama ini semakin mendekatkanmu kepada-Nya, atau justru menjauhkan? Ke mana engkau akan melangkah setelah ini? Sudahkah engkau benar-benar mempersiapkan dirimu untuk menghadapi kematian, sebagaimana engkau bersungguh-sungguh menyiapkan keberangkatan duniawimu? Dan yang paling penting: sudahkah engkau menyiapkan jawaban ketika tubuh tak lagi kuat berdiri di hadapan Allah, dan lisan tak mampu mengucap selain, "Ya Allah, ampunilah aku"?
Hari-hari kita begitu penuh dengan urusan dunia. Bangun tidur disambut notifikasi, waktu kita habis untuk pekerjaan, urusan keluarga, pencitraan sosial. Kita sibuk-terlalu sibuk-hingga lupa untuk menyendiri bersama Allah. Maka Arafah datang sebagai alarm kehidupan: Berhenti. Duduklah. Diamlah. Dengarkan hatimu. Dengarkan ayat-ayat Allah yang selama ini hanya dibaca, tapi tak pernah dirasakan.
Arafah juga mengingatkan kita akan suatu hari yang pasti datang. Hari ketika semua yang kita cintai dan banggakan akan menjauh, dan kita berdiri sendiri di hadapan Allah. Dalam Al-Qur'an, Allah menggambarkan kedahsyatan hari itu dengan firman-Nya:
يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ • وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ • وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ • لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ
"Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya (sendiri)." (QS. 'Abasa: 34-37)
Tak ada yang bisa dibanggakan pada hari itu selain amal dan kejujuran kita di hadapan Tuhan. Maka sebelum hari itu benar-benar datang, Arafah adalah kesempatan langka untuk menyesali dengan jujur, menangis sepuasnya, dan kembali pulang dengan jiwa yang bersih-seputih kain ihram yang kita kenakan.
Wukuf bukan hanya berdiri, ia adalah pengakuan. Ia bukan hanya prosesi, ia adalah transformasi. Siapa yang benar-benar hadir di Arafah, maka ia pulang dengan jiwa yang baru, hati yang luluh, dan janji yang kuat kepada Allah. Tapi bagi kita semua, bahkan yang tidak berada di sana, semangat Arafah bisa kita rasakan: dengan memperbanyak istighfar, dengan meletakkan kepala di sajadah dan berseru: Ya Allah, aku lelah dengan diriku yang lama. Aku ingin kembali pada-Mu.
Semoga Arafah tahun ini bukan hanya menjadi catatan waktu, tapi menjadi titik balik kehidupan. Tempat kita benar-benar bertemu Allah dalam kejujuran yang paling dalam. Karena pada akhirnya, yang akan kita bawa bukan gelar, bukan harta, bukan siapa yang kita kenal. Tapi siapa diri kita di hadapan Allah.
Dan Arafah-adalah panggilan untuk kembali mengenal siapa kita... dan untuk siapa kita hidup.
Puji Raharjo Soekarno
Penulis adalah Deputi Kooordinasi Layanan Haji Dalam Negeri Badan Penyelenggara Haji RI / Ketua Tanfidziyah PWNU Provinsi Lampung
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
MUI Kecam Rencana Israel Ambil Alih Masjid Al Ibrahimi di Hebron
Pengumuman! BP Haji Buka Lowongan, Rekrut Banyak SDM untuk Persiapan Haji 2026
Merapat! Lowongan di BP Haji Bisa untuk Nonmuslim