Dari sekian pelajar dan mahasiswa yang menjadi petugas haji Maktour selama di Madinah, Makkah, dan Jeddah, sosok Dea Saputra mengundang perhatian tersendiri. Bukan cuma karena penampilan fisik, kecekatan, dan keramahannya selama melayani para jemaah, tapi cita-cita dan perjuangan yang tengah dilakukannya.
Putra sulung pasangan H. Nursalim dan Nurhayati kelahiran Lombok, 12 Maret 1999 itu diam-diam tengah membangun pesantren di kampung halamannya, Jerowaru - Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dia tidak mengajukan proposal untuk meminta sumbangan ke para pejabat dan pengusaha, atau menyediakan kencleng di jalanan seperti yang lazim dilakukan.
Sejak 2020, dia membangun pesantren di bawah naungan Yayasan Hilyatul Auliya Almahrifiy di atas lahan seluas 60 are atau setara dengan 6000 meter². Bangunan dua lantai berdinding batako itu memiliki luas 34 kali 9 meter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya kumpulkan dari honor selama menjadi petugas haji dan umrah. Biaya yang dikeluarkan sudah lebih dari Rp 1 miliar termasuk untuk biaya pengurusan surat izin mendirikan bangunan," ungkap Dea seraya memperlihatkan video yang dibuatnya saat mudik Ramadan, Maret lalu. Dia baru menengoknya setelah 7 tahun tinggal di Makkah.
![]() |
Selain dari honor sebagai petugas haji, dia mengaku menerima sumbangan dari para jemaah umrah ataupun haji. "Tapi saya tidak meminta, mengajukan proposal. Mereka menyumbang sukarela, ikhlas," ujarnya.
Dia ke Makkah, Arab Saudi sepekan setelah Ujian Nasional Madrasah Aliyah di Lombok Timur, pada 18 April 2017. Kala itu jiwa remajanya terusik melihat lingkungan tempatnya tinggal sudah mulai terperosok oleh pergaulan bebas, melakukan judi online, menjadi maling, begal, atau rampok. Atas sokongan kedua orang tuanya yang cuma buruh tani, Dea pun hijrah ke Makkah dengan satu tekad: Menimba ilmu agar kelak dapat menjadi alim ulama di kampungnya.
Kenapa tidak menimba ilmu ke al-Azhar di Kairo, Mesir? Alasannya sederhana. Dia ingin bisa melaksanakan ibadah umrah kapan saja, melaksanakan ibadah haji setiap tahun, dan berziarah ke makam Rasulullah di Madinah kapan saja. Alasan lainnya, Kota Suci ini dipilih karena di Pulau Lombok kebanyakan ulama merupakan lulusan Makkah, seperti Pendiri Nahdlatul Wathan di Lombok, Syaikh Zainuddin Abdul Majid.
"Mekkah juga merupakan kota paling suci dan agung dari sekian luasnya muka bumi ini. Juga tempat dilahirkannya seorang kekasih Allah, yakni Muhammad SAW," tutur Dea saat berbincang dengan detikHikmah di sela-sela rehat melayani jemaah.
![]() |
Di Makkah Dea dan kebanyakan remaja asal NTB, mendalami pengetahuan agama Islam di Madrasah Al-Shaulatiyah. Ini merupakan sekolah legendaris di Saudi Arabia yang didirikan ulama besar imigran India, Syekh Rahmatullah Ibnu Khalil al-Hindi al-Dahlawi pada 1292. Salah satu alumnus dan pengajarnya kala itu adalah Syaikh Nawawi Al banteni dan Syaikh Yasin Al Padani.
Kakek KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asyari dan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan juga merupakan alumnus Al-Shaulatiyah.
Selama tiga tahun Dea berguru kepada Syeh Sayyid Ahmad Ar Ruqoimi. Suatu hari, ketika sedang mengkaji kitab al Adzkar Nawawi (babul asmaa il a'zom) yang membahas tentang nama-nama yang mulia dan bagus, gurunya memberi nama Abdullah Nursalim untuk menggantikan Dea Saputra. Syeh Sayyid Ahmad Ar Ruqoimi wafat pada 2021 lalu.
Sejumlah ulama terkemuka di Tanah Air, kata Dea, setiap kali berhaji atau umrah biasanya akan singgah untuk sowan kepada Syeh Sayyid Ahmad Ar Ruqoimi. Dia antara lain memperlihatkan foto Habib Ahmad Novel bin Jindan, Buya Yahya, dan Rizieq Shihab bersama sang Syeh.
Selama tiga tahun pertama berguru, Abdullah Nursalim alias Dea biasa mengisi waktu dengan membantu jemaah asal Indonesia, Brunei, Singapura, maupun dari negara Asia lainnya yang umrah dan haji. Honornya lumayan. Sekitar 2.500 - 3.000 Real (sekitar Rp 13 juta dengan kurs Rp 4.300) untuk umrah (tergantung paketnya), dan 5.000 - 6.000 Real (Rp 21-26 juta) untuk haji (tergantung paketnya juga).
Saat ditanya kapan dirinya akan menikah mengingat usianya sudah 25 tahun, Dea Saputra alias Abdullah Nursalim cuma menggeleng. Dia mengaku belum siap berumah tangga sampai pondok pesantren yang tengah dibangunnya benar-benar fungsional.
"Saya masih belum siap menikah, bangunan ponpes masih belum kelar. Biar nanti saja kalau sudah jadi, agar anak didik kami merasa aman, nyaman, dan fokus menuntut ilmu," tuturnya mantap.
(jat/kri)
Komentar Terbanyak
Ada Penolakan, Zakir Naik Tetap Ceramah di Kota Malang
Sosok Ulama Iran yang Tawarkan Rp 18,5 M untuk Membunuh Trump
Respons NU dan Muhammadiyah Malang soal Ceramah Zakir Naik di Stadion Gajayana