Menikmati Isyarah(u) Daripada Qadarah(u), Lalu Taubat

Kolom Hikmah

Menikmati Isyarah(u) Daripada Qadarah(u), Lalu Taubat

Abdurachman - detikHikmah
Sabtu, 06 Jul 2024 05:28 WIB
Abdurachman

 Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya
Foto: Dokumentasi pribadi Abdurachman
Jakarta -

Jalanan berair. Makkah disiram hujan. Suasananya yang sangat diharapkan di daerah yang terkenal gersang. Makkah ketika itu memang sangat jarang turun hujan. Mudah dinyana, ketika turun hujan, walau sangat lebat, penduduk lokal enggan menghindar.

Kalau di negeri banyak hujan orang berlarian mencari lokasi bebas tumpahan air hujan. Di sana orang malah berhujan-hujan sambil kegirangan. Pemandangan indah yang bisa dinikmati dari dalam kamar hotel. Apalagi di lantai atas yang mengarah pandang ke Masjidil Haram. Sungguh menyenangkan.

Hari itu Jumat menjelang shalat ashar. Masih dalam bulan penuh berkah, bulan Ramadlan. Tiga orang, Ayah dan dua orang putranya yang dua-duanya masih di sekolah dasar menuju Masjidil Haram di Makkah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jalanan yang berlimpah air. Mengantar mereka memilih sisi-sisi jalanan yang agak kering. Teringat di Indonesia kalau hujan turun bisa bersusulan. Mereka menyiapkan diri dengan payung di tangan. Masing-masing satu payung setiap orang.

Walau sandal dipilih dari bahan mahal yang bebas selip. Agak tebal dan berjonjot empuk. Namun mereka tetap memilih berhati-hati. Karena lantai di luar, jauh sebelum masuk Masjidil Haram masih memungkinkan sandal meluncur tak bisa ditahan.

ADVERTISEMENT


Walaupun di Masjidil Haram, hujan seberapa pun akan segera terselesaikan. Berkah dari cleaning service yang sigap menghalau genangan air hujan. Serta peralatan pembersih lantai, dari berbagai jenis mobil pembersih yang siap menghisap, mengalirkan dan membersihkan.

Rupanya hari Jumat berkah di bulan penuh berkah itu menghadirkan barakah berlimpah dari Tuhan. Hujan deras yang menyembur dari langit hadir menjelang shalat ashar. Setelah itu, hujan begitu saja menghilang. Langit kembali terang. Matahari sambil tersenyum menyambut siapa pun yang hendak shalat berjemaah ashar di Masjidil Haram.

Sebelum masuk ke dalam Masjidil haram. Tiga orang, Ayah dan dua putranya menyempatkan mampir di lokasi penyimpanan barang. Kotak sandal dan barang-barang yang sebaiknya dititipkan daripada mengganggu jemaah yang akan sembahyang.

Mereka menata tiga sandal dan tiga payung dalam satu kotak ukuran lumayan. Kotak itu bisa ditutup dari luar. Tiga sandal yang memiliki merk yang sama, hanya berbeda ukuran.

Dalam upaya mendapati shalat lebih utama, lebih khusyu. Sang Ayah memilih lokasi di pelataran yang lapang. Agar bisa melihat Ka'bah seluas mata memandang. Di lantai Masjid yang tidak berkarpet. Di lokasi terdekat ke Ka'bah yang masih bisa dijangkau.

Jemaah umrah pada saat itu belum membludak seperti sekarang. Mendekati Ka'bah bisa mudah dilakukan. Asal waktu datang tidak boleh terlalu dekat dengan saat adzan berkumandang.

Waktu ashar masih cukup panjang. Melintas di depan si Ayah, entah Muslim Pakistan atau Banglades. Yang jelas dia sedang menenteng sandal. Tampak bagi si Ayah bahwa sandal yang ditenteng bukan yang mahal. Sandal jepit tipis, sudah berumur, sedang talinya jika dipakai sangat mungkin kedodoran.

Mungkin karena ragu akan meneteskan bekas-bekas air hujan,

"Ngapa sih sandal begituan dibawa ke dalam Masjidil Haram. Bukankah dititipkan di penitipan akan aman. Saya loh, dan anak-anak selalu menempatkan sandal di tempat penitipan. Di sana sandal tidak hilang walau harganya mahal".


Dia berguman di dalam hati. Pasti tidak seorang pun tahu. Apalagi yang sedang berjalan mencari tempat duduk sambil menenteng sandal.

Lalu lalang orang berjalan mencari lokasi shalat. Sebagian ada yang membagikan qurma dan berbagai makanan ringan persiapan buka puasa. Kebiasaan seperti itu merupakan pemandangan sangat wajar di Masjidil Haram.

Adzan berkumandang. Shalat ashar berjemaah berlangsung tenang. Setelah selesai berdzikir sebagian jemaah bergegas pulang ke penginapan. Termasuk Ayah dan dua putranya.

Keluar dari masjid, mereka menuju lokasi sandal. Kotak dibuka. Barang-barang penitipan dikeluarkan, termasuk payung. Namun, giliran si Ayah hendak mengeluarkan sandal. Ternyata sandal yang tadinya lengkap tiga, sekarang sandal si Ayah yang berukuran paling besar tidak ditemukan. Artinya lenyap hilang.

Saat itu, si Ayah tampa komentar apa pun segera menunduk mengajak dua anaknya pulang. Dia menikmati perjalanan menuju penginapan tanpa menggunakan sandal. Terasa basahnya jalanan, hilang rasa empuk bantuan dari sandal, tapi banyak menghadirkan pelajaran.

Dia memilih isyarah (tanda dari Tuhannya) daripada qadarah, sekedar melihat itu sebagai kehendakNya.
Ia memahami bahwa melalui isyarah itu, Tuhan mendidiknya agar mengevaluasi diri, lalu segera bertaubat. Membalik salah menjadi benar atas apa yang sementara telah dilakukannya.

Ia segera tersadar. Bahwa gumamnya dalam hati selama melihat saudaranya menenteng sandal di dalam Masjidil Haram. Telah menghadirkan bimbingan Tuhan. Agar ia tidak lagi melakukan gunjingan kepada siapa pun walau dalam hati. Apalagi di dalam Masjidil Haram atau di lingkungan tanah haram. Jangan!

Bahkan gunjingan kepada siapa pun dan kapan pun. Tetap jangan. Melakukan gunjingan, ialah membicarakan keburukan orang lain sedang orang yang digunjing tidak tahu. Ghibah dan itu sangatlah haram. Apalagi menggunjing karena dasarnya sombong. Merasa sandalnya lebih mahal, lebih baik daripada sandal yang digunjing.

Betapa pun mahal, betapa pun lebih baik, bukankah dia dan yang digunjing sama-sama makhluk Tuhan. Memiliki hak yang sama untuk dirahmati Tuhan. Sedang nilai kemuliaan seseorang bukan berdasar harga sandal, bukan juga tampilan fisik, baju, asesoris yang lain, atau pun strata sosial. Atau bukan berdasar berbagai atribut kedudukan. Tapi hanya berdasar nilai taqwa.

Taqwa, amaliyah shalihah yang didasarkan niat demi melaksanakan kehambaan kepada Tuhan. Itulah yag menjadi tolok ukur, standar penilaian derajat seseorang. Apakah ia terpandang di mata Tuhan.

Banyak isyarah yang 'ditebarkan' Tuhan. Bisa jadi sandal hilang, bisa jadi nyerempet bemper kendaraan orang. Boleh jadi HP baru segera jatuh dan hilang karena merasa HP nya orang lebih bernilai mahal. Padahal HP nya sendiri baru dibelinya. Baru saja dianugerahi HP baru dari Tuhan.

Tidak sedikit orang yang begitu saja kehilangan kekayaan. Jatuh bangkrut bahkan berhutang-hutang. Bukan gali lubang tutup lubang. Tapi terus berhutang walau membayar bunganya saja belum bisa seimbang.

Ada yang lain diingatkan Tuhan melalui lengser jabatan. Dari jabatan tinggi tiba-tiba saja diberhentikan. Walau belum jelas alasan-alasannya.

Jika berkenan menikmati isyarah. Mari kita tafakkur dan segera bertaubat. Membalik sombong menjadi tawaddlu. Syirik menjadi tauhid. Bahwa sungguh tak ada sedikit pun kekuatan dan upayaku menjadi baik, hebat atau apa pun kecuali hanya karena anugerahNya. Tak secuil pun kumampu hindar dari; keliru, lemah, lambat, picik dan semacamnya kecuali juga hanya karena anugerahNya.


Laa ilaaha illaa Allah, laa hawla wa laa quwwata illaa billaah.

Taubatku, semoga mengantarku tak pernah lagi merasa aku lebih baik darinya (sombong). Walau dalam dada. Karena hanya Dia, ya hanya Dia kelebihanku jika ada. Dan aku hanyalah seorang hamba yang pasti tidak memiliki apa-apa. Jasad, pikiran, ide, manfaat, atau apa pun yang biasa mereka lihat sebagai kelebihan dariku.
Astaghfirullah, astaghfirullah, tsumma astaghfirullah al'adziim!


Tuhan, kami memohon ampunanMu. Untuk bertambah shabar dan shalat (doa) agar semakin hari setiap kami semakin dekat kepadaMu, aamiin!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis




(erd/erd)

Hide Ads