Menurut Plato, tanda seorang penguasa yang berjaya dan dapat mengalahkan musuh, ialah seorang raja fisiknya kuat, diamnya bermakna, pendapatnya selalu direnungkan dan dipertimbangkan dengan hati, bersikap rasional dalam pemerintahannya, hatinya mulia, dicintai rakyatnya, sayang terhadap para pegawainya, belajar dari sejarah dan konsisten terhadap agama dan keputusannya. Setiap penguasa yang memiliki sifat-sifat di atas, dan direalisasikan dalam kenyataan, ia akan berwibawa dan ditakuti oleh semua musuh, dan tak seorangpun dapat menemukan peluang untuk mengkritik dan memakinya.
Dalam kehidupan bernegara, kadangkala kebijakan yang diambil memicu kritik maupun makian. Hal ini menandakan bahwa penguasa itu belum termasuk sifat-sifat di atas. Jika kritikan tersebut dibalas dengan banyak bicara, maka peluang terjadi polemik makin membesar. Kewibawaan bukan berarti ketakutan, hal yang sangat berbeda. Kewibawaan akan tampak jika pola kepemimpinan menyerap aspirasi rakyatnya dan tidak banyak bicara. Menghargai pendapat para cerdik pandai dan sering meminta nasihat para ulama.
Jika seorang raja memandang segala daya dan upayanya bergantung pada kekuasaan Allah yang Mahakuasa, dia akan memperoleh kemenangan, kendatipun musuhnya jauh lebih kuat. Hal ini sebagaimana yang diabadikan oleh-Nya dalam surah Al-Baqarah ayat 249 yang artinya, "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ayat di atas merupakan kisah perang dengan pimpinan Thalut melawan pasukan Jalut. Ini kisahnya :
Ketika Thalut keluar dengan pasukannya dari Baitul Maqdis untuk berperang melawan musuh, ia berkata: "Allah akan menguji kesabaran dan ketaatan kalian dengan sebuah sungai yang akan kalian seberangi. Barangsiapa yang meminum air sungai itu maka dia bukan termasuk dari pengikutku, dan barangsiapa yang tidak meminumnya maka dia adalah pengikutku; adapun orang yang hanya meminumnya secakupan tangan, maka tidak mengapa baginya."
Namun mereka meminum air sungai itu kecuali sebagian kecil dari mereka saja yang berjumlah 300 an orang, sesuai dengan jumlah pasukan pada perang Badar. Setelah Thalut menyeberangi sungai itu dan orang yang tersisa bersamanya hanya sedikit sedangkan musuh mereka berjumlah besar, sebagian mereka berkata: "Kita tidak akan mampu mengalahkan Jalut yang kejam yang memiliki pasukan besar."
Dan sebagian orang-orang yang beriman dengan firman Allah SWT. menjawab kekhawatiran mereka: "Betapa banyak pasukan kecil yang sabar dapat mengalahkan pasukan besar dengan izin Allah. Allah Bersama orang-orang yang sabar dengan pertolongan dan taufik-Nya.
Al-Barra' berkata: "Para sahabat Nabi yang mengikuti perang Badar berkata kepadaku, bahwa jumlah mereka sesuai dengan jumlah pasukan Thalut yang dapat menyeberangi sungai, yaitu 300 sekian orang." Al-Barra' melanjutkan: "Demi Allah, tidaklah pasukan yang dapat menyeberangi sungai dengan Thalut kecuali orang-orang yang mukmin."
Hasan Basri berkata, "Setiap raja yang menghormati urusan agama? Ia akan tampak wibawa dan agung di mata rakyatnya. Barangsiapa mengenal Allah, manusia kenal karenanya dan mereka pun terdorong menjadi medium pengenalan-Nya." Hal ini seperti yang dikatakan seorang penyair sebagai berikut :
Barangsiapa mengenal Allah dan asma-Nya,
Maka setiap orang akan terpengaruh oleh pengenalan-Nya
Berbahagialah orang yang dapat mengenal Allah,
Sebagai pengetahuan yang mula-mula digapainya
Mengenal Allah SWT itu berarti seseorang itu beriman, jika raja atau pemimpin suatu negeri termasuk orang yang beriman maka seluruh tindakannya tidak akan menyimpang dari ketentuan ajaran agamanya.
Mu'awiyah bertanya kepada Ahnaf ibn Qais, "Hai Abu Yahya, bagaimana situasi masa kini?"
Jawabnya, "Zaman adalah engkau. Jika engkau baik, zaman pun baik, dan jika engkau rusak, zaman pun rusak." Ahnaf melanjutkan, "Sesungguhnya dunia menjadi maju karena keadilan, dan ia bisa hancur karena tindak kezaliman. Sebab cahaya keadilan itu terang, dan sinarnya dapat menjangkau jarak seribu farsakh. Sedang gelapnya aniaya dapat menggumpal dan menyelimuti perjalanan seribu farsakh."
Yang terpenting bagi penguasa adalah menerapkan keadilan dan bersikap sabar dalam menghadapi persoalan. Adil itu dirasakan bukan diucapkan, maka penguasa yang adil itu telah dirasakan oleh rakyatnya. Oleh sebab itu raja yang ingin jaya dalam pemerintahannya sangatlah berbeda dengan raja yang ingin memerintah seterusnya. Kejayaan kepemimpinan itu telah dibahas dalam tulisan ini di depan, sedangkan kepemimpinan yang terus menerus tidaklah diajarkan dalam Islam. Kepemimpinan itu dipergilirkan, seorang pemimpin ada masanya ( waktunya ).
Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada para penguasa agar dapat menunaikan amanah yang diberikan rakyatnya.
Aunur Rofiq
Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
(erd/hnh)
Komentar Terbanyak
Berangkat ke Mesir, Ivan Gunawan Kawal Langsung Bantuan untuk Gaza
Perbedaan Waqaf dan Washal dalam Ilmu Tajwid
Doa Nabi Adam: Arab, Latin, dan Terjemahannya