100 Hari Agresi Israel di Gaza dan Nasib Bantuan Kemanusiaan

Kolom Hikmah

100 Hari Agresi Israel di Gaza dan Nasib Bantuan Kemanusiaan

Muchlis M Hanafi - detikHikmah
Senin, 15 Jan 2024 10:58 WIB
Muchlis M Hanafi
Sekretaris Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Republik Indonesia
Muchlis M Hanafi Sekretaris Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Republik (Foto: Dokumentasi Baznas)
Jakarta -

Ahad 14 Januari 2024 genap 100 hari agresi militer Israel di Gaza. Terlalu mewah untuk menyebutnya perang. Serangan "Badai Al-Aqsa" 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1300 orang di Israel tidak berdiri sendiri. Itu bentuk perlawanan sebuah bangsa yang tertindas sejak tahun 1948. Serangan balik Israel ternyata lebih barbar. Laporan observatorium Hak Asai Manusia Euro-Mediterania menyebutkan, dalam 100 hari agresi Israel telah mengakibatkan 100 ribu warga Palestina menderita, antara gugur sebagai syuhada, luka-luka dan hilang. Kejahatan perang Israel memakan korban rata-rata 1000 orang setiap harinya. 92% korban adalah warga sipil, di antaranya 12.345 anak-anak, 6.471 perempuan, 295 tenaga kesehatan dan 113 jurnalis. Otoritas Palestina di Gaza menyebut, sampai sabtu 13 Januari lalu, 23.843 orang gugur sebagai syuhada dan 60.317 orang luka-luka.

Hampir dua juta warga Palestina (1.955.000 orang) atau 85% penduduk Gaza mengungsi secara paksa dari tempat tinggal mereka. Data UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina, menyebut 90%. Tanpa tempat pengungsian yang aman. Berpindah-pindah seperti buah catur, dari satu tempat ke tempat lain yang dinyatakan aman, tetapi berujung pada serangan. Agresi berdarah Israel tanpa kecuali menyasar fasilitas kesehatan, sekolah, masjid dan gereja. Euro-Med menuduh Israel sengaja menghancurkan infrastrukur di Gaza, dan menjadikannya wilayah tak layak huni. Hal senada disampaikan Martin Griffiths, Kepala Koordinator Bantuan Kemanusiaan PBB, Jumat pekan lalu (12/1). "Gaza telah menjadi wilayah tidak layak huni, dan hanya menjadi tempat kematian dan putus asa", katanya.

Di bawah serangan membabi buta tak ada pasokan listrik, bahan bakar, air bersih dan makanan. Laporan NGO Israel, B'Tselem, yang didirikan oleh sekelompok figur penting Israel tahun 1989, pada Senin 8 Januari 2024, menyebutkan seluruh penduduk Gaza (2,2 juta orang) menderita kelaparan. Bukan karena efek peperangan, tetapi karena praktik metode perang Israel yang sengaja membuat orang kelaparan. Siasat ini menyebabkan orang menunggu dalam antrian panjang untuk bantuan yang sedikit dan warga yang lapar menyerbu truk bantuan. Ini bertentangan dengan hukum humaniter internasional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengiriman bantuan dari masyarakat Indonesia ke PalestinaPengiriman bantuan dari masyarakat Indonesia ke Palestina Foto: Dokumentasi Baznas

ADVERTISEMENT

Untuk memenuhi kebutuhan hidup warga Gaza mengandalkan pasokan makanan dari luar. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi makanan sendiri. Sebagaian besar lahan pertanian dihancurkan. Tempat produksi roti, pabrik dan gudang perbekalan makanan hancur diserang, atau ditutup karena tidak ada bahan pokok, bahan bakar dan listrik. Persediaan makanan dan air minum di rumah sudah lama habis. Menurut juru bicara kantor regional Program Pangan Dunia PBB (WRP), satu dari empat orang warga Gaza mengalami kelaparan ekstrem. Artinya, setengah juta orang di Gaza mengalami kekurangan pangan.

Hambatan Bantuan Kemanusiaan

Sejak perang tahun 2006 Gaza berada dalam kubangan bencana kemanusiaan, akibat blokade Israel. Selama 17 tahun 80% warga Gaza mengandalkan bantuan kemanusiaan. Sebelum agresi Israel terakhir, setiap hari tidak kurang dari 500 truk membawa berbagai jenis barang dari beberapa pintu perbatasan, antara lain pintu Erez, Kerem Shalom (Karam Abu Salim), dan Rafah. Kini, semua ditutup, kecuali pintu perbatasan Rafah, antara Gaza dan Mesir. Itu pun setelah didesak dunia internasional. Belakangan, pada medio Desember tahun lalu, Israel membuka pintu Kerem Shalom, 5 km ke arah selatan pintu Rafah. Kerem Shalom dibuka khusus untuk truk bantuan PBB. Sementara truk lainnya hanya diperiksa di situ, tetapi masuk tetap melalui Rafah. Kedua perlintasan perbatasan itu hanya memenuhi 10% kebutuhan warga Gaza. Pada minggu pertama tahun ini, diperkirakan hanya 80 hingga 177 truk bantuan yang masuk. Sangat jauh dari mencukupi
kebutuhan warga Gaza.

Bukan tidak ada bantuan. Pada 6 Januari 2024 misalnya, setelah melihat fakta di perbatasan Rafah, dua senator Amerika, Chris Van Hollen dan Jeff Merkley, mengatakan, ratusan truk bantuan berada dalam antrian berminggu-minggu untuk bisa masuk ke Gaza. Di gudang barang bantuan menumpuk, mulai dari alat penguji air hingga perlengkapan kesehatan untuk persalinan bayi dilarang masuk oleh Israel. Proses pemeriksaan yang melelahkan dan berlebihan dari pihak Israel membuat pengiriman bantuan kemanusiaan terhambat. Lagi pula pintu perbatasan Rafah sebenarnya untuk perlintasan orang, bukan truk barang.

Lembaga kemanusiaan yang menyalurkan bantuan pun mengalami kesulitan menjangkau seluruh wilayah Gaza. Perbatasan Rafah berada di sebelah selatan Gaza. Menggerakkan truk bantuan menuju utara Gaza yang saat ini dihuni tidak kurang dari 250 hingga 300 ribu warga perlu perjuangan. Bahkan menjangkau pusat kota Gaza saja sulit di tengah serangan Isarel yang bertubi-tubi. Bulan lalu Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi untuk mengambil langkah cepat memperkenakan bantuan kemanusia masuk secara meluasa dan aman tanpa hambatan melalui perangkat PBB dan pihak-pihak terkait. Namun, hingga kini belum terlaksana. Apalagi, Israel terang-terangan menolak resolusi tersebut sejak dikeluarkan.
Upaya Baznas RI

Di tengah keterbatasan ini Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang mendapat kepercayaan besar dari masyarakat Indonesia bekerja keras menyalurkan bantuan. Hingga ahad, 14 Januari 2024, Baznas berhasil menghimpun donasi Palestina sebesar 191 miliar rupiah (12 juta US Dollar). Selain mengirim bantuan melalui pesawat dalam misi bantuan kemanusiaan Pemerintah Republik Indonesia dan mitra Baznas di Palestina, Baznas juga menyalurkan bantuan dari Mesir ke Gaza bekerjasama dengan mitra terpercaya di Mesir melalui pintu Rafah. Dari tiga kali pengiriman sebanyak 19 truk bantuan berupa makanan dan obat-obatan, pada Desember 2023, perjalanan truk bantuan mulai dari Kairo hingga kembali dari Gaza memakan waktu antara 10 hingga 14 hari. Mulai masuk terowongan Kanal Suez di Ismailiyah, menjelang Sinai Utara, truk-truk menjalani pemeriksaan ketat dari otoritas intelijen militer Mesir. Sejak Presiden Husni Mubarak tumbang pada 2011, dan transisi pemerintahan tahun 2014, Sinai Utara menjadi daerah operasi militer, karena menjadi sarang persembunyian kelompok ekstrem. Pemeriksaan pun berlapis.

Menghadapi situasi kemanusiaan di Gaza saat ini perlu strategi nafas panjang. Apalagi tidak ada yang bisa menerka kapan agresi Israel akan berakhir, dan bagaimana Gaza pasca agresi. Egyptian Red Crescent (ERC), pihak yang ditunjuk pemerintah Mesir untuk menyalurkan bantuan ke Gaza, sempat mengkhawatirkan bantuan datang bertubi-tubi menumpuk di awal krisis, namun terhenti setelah itu, saat Gaza tenang dan bantuan bisa masuk secara meluas. Atas dasar itu, Baznas membuat skema penyaluran donasi yang dihimpun melalui tiga tahap; 40% di masa tanggap darurat, 20% untuk recovery, dan 40% untuk rekonstruksi.

Tentunya kita berharap perang segera berakhir. Untuk menghindari bencana kemanusiaan yang lebih parah lagi, tidak ada jalan lain kecuali penghentian agresi dan serangan bersenjata. Bantuan kemanusiaan dan barang komersial agar diperkenankan masuk kembali secara meluas dengan mudah dan berkelanjutan melalui berbagai jalur. Bila tidak, kita semua akan menjadi saksi sejarah kebiadaban terbesar dalam sejarah manusia modern.


Muchlis M Hanafi
Sekretaris Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Republik Indonesia

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)




(erd/erd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads