Dalam kesempatan berbincang salah seorang muslim scholars di lobby Books Store di UC LA, ia memuji muslim Indonesia yang moderat dan memiliki dirinya sendiri (self assertive). Tidak minder sebagai negara muslim yang baru dan sering dikonotasikan sebagai muslim awam dibanding dengan negara-negara Arab lainnya.
Menurut kawan saya tadi, meskipun mungkin ada benarnya statmen dari ulama Timur Tengah seperti itu tetapi Indonesia mampu menciptakan suatu entitas lain yang justru tidak pernah dibayangkan oleh kalangan ulama Timur Tengah, yaitu kemandirian politik dan ekonomi Indonesia.
Sebutlah Indonesia tigkat pemahaman dan kedalaman keberagamaannya belum mendalam tetapi makna universalitas Islam lebih berkembang di Indonesia. Penerimanaan demokrasi, HAM, kesetaraan gender, toleransi beragama, sistem ekonomi modern, perbankan, dan asuransi modern, lebih mudah diterima dan sudah diterapkan di Indonesia dan belum seperti itu di dalam umumnya negara-negara muslim Timur Tengah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pujian serupa banyak didengar kalau kita ke Eropa atau di negara-negara besar minoritas muslim. Dalam kesempatan breakfast dengan para peserta dari berbagai negara, penulis dikerumuni dan banyak ditanya beberapa hal.
Salah satu pertanyaannya ialah Indonesia sebagai negara muslim terbesar tetapi paling sedikit warganya terlibat dalam ISIS. Rupanya mereka juga cukup diresahkan dengan banyaknya warga umat dinegerinya terkontaminasi dengan ISIS bahkan berangkat ke kawasan Iraq dan Syiria memperkuat kelompok ISIS.
Penulis menjelaskan sebatas pengetahuan dan pengalaman bergabung sebagai salah seorang Kelompok Ahli BNPT semenjak lembaga ini terbentuk. Mereka ingin sekali mempelajari pengalaman berdakwah di Indonesia sebuah negara yang begitu luas dengan etnik begitu banyak. Di antara mereka banyak yang sudah pernah ke Indonesia tetapi masih banyak juga yang belum pernah, terutama mereka yang jauh misalnya dari Amerika Latin, Eropa, dan Afrika bagian utara.
Di antara para mahasiswa muslim yang kelihatannya berpostur Timur-Tengah (Arab) mengitrupsi pembicaraan kami dengan nada yang sedikit agak tinggi, sambil berucap: "Tapi Indonesia tidak boleh egois. Indonesia seolah-olah tidak mau tahu kalau kami di Timur Tengah atau di dunia Islam lain babak belur karena perang saudara.
Indonesia memiliki power besar untuk mengambil bagian dalam meredakan konflik di negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Indonesia berada pada posisi sangat netral, jauh dari pusat konflik dengan menyebut negara Israel, jauh juga dari Syiria dan Iraq.
Indonesia juga sangat sedikit didatangi kelompok pengungsi dengan segala akibatnya. Jika Indonesia mengambil peran pasti semua negara-negara Islam akan mendengar. Bahkan ia mengatakan sekalipun Indonesia tidak menjadi pemimpin Organisasi Konferensi Islam (OKI) tetapi pengaruhnya akan lebih besar".
Pernyataan saudara kita tadi mungkin ada benarnya menurut pandangan mereka, tetapi Indonesia juga harus hati-hati melangkah, terutama jika persoalan itu terkait dengan masalah global, misalnya saja tentang sengketa lahan antara Israel dengan Palestina. Indonesia tidak terkait secara langsung dengan persoalan bilateral antara kedua komunitas tersebut, apalagi Indonesia termasuk penggagas negara non Block.
Spirit dari pembincangan itu, betapa mereka menaruh perhatian besar terhadap Indonesia yang membayangkan Indonesia bukan hanya besar dari segi wilayah dan jumlah penduduk tetapi juga prestasi politik dan ekonomi.
Penulis baru sadar kalau seperti itu dunia luar memandang Indonesia. Mereka bukan orang sembarangan. Paling tidak mereka diutus oleh negaranya atau dipilih Langsung oleh panitia penyelenggara karena prestasinya.
Penilaian mereka rasanya keluar dari hati nurani yang bebas dari kepentingan apapun. Seandainya suara-suara mereka dalam perbincangan itu diliput oleh media Indonesia kita mungkin warga masyarakat kita bisa memahami kenyataan bangsanya saat ini.
Ketika semua negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai Negara Islam atau negara berpenduduk mayoritas muslim, di kawasan Timur Tengah hampir semuanya direpotkan dan disedot energinya yang tidak sedikit, terutama harus menyiapkan anggaran khusus untuk menangani ratusan ribu bahkan jutaan para pengungsi di negerinya.
(lus/lus)
Komentar Terbanyak
Ada Penolakan, Zakir Naik Tetap Ceramah di Kota Malang
Sosok Ulama Iran yang Tawarkan Rp 18,5 M untuk Membunuh Trump
Respons NU dan Muhammadiyah Malang soal Ceramah Zakir Naik di Stadion Gajayana