Pemerintah memperluas program wajib belajar menjadi 13 tahun dimulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) atau prasekolah hingga pendidikan menengah atas (SMA). Program Wajib Belajar 13 Tahun ini diterapkan mulai tahun ajaran 2025/2026. Hanya saja masih ada tantangan terutama soal PAUD.
Ketua Tim Kerja Pembelajaran dan Penilaian, Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Dra Mareta Wahyuni M Pd memaparkan hasil riset tentang PAUD sepanjang 2025 oleh Kemendikdasmen.
Mareta melaporkan temuan permasalahan soal PAUD, mulai dari jumlah PAUD yang masih kurang dan minimnya kualitas guru PAUD. Padahal, ia mengatakan 30 persen dari masyarakat di Indonesia merupakan anak usia dini.
"Dan kalau kita lihat dari penduduk Indonesia lebih dari 30 persen bahkan mereka berada di usia PAUD hingga pendidikan menengah," ujar Mareta dalam acara Diseminasi Hasil Riset 2025 Pusat Pendidikan BRIN, di Auditorium Gedung Widya Graha, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan pada Jumat (12/11/2025).
Permasalahan terkait PAUD ini menjadi tantangan pemerintah dalam menyelenggarakan Wajib Belajar 13 Tahun (Wajar 13 Tahun). Wajar 13 Tahun sendiri saat ini adalah program prioritas dari Kemendikdasmen.
Apa saja tantangan penyelenggaraan Wajar 13 Tahun? Ini penjelasan Mareta:
Tantangan-tantangan Wajib Belajar 13 Tahun di Indonesia
1. Kurangnya Jumlah PAUD
Permasalahan pertama yang disinggung Mareta adalah masih kurangnya jumlah PAUD di Indonesia. Data Kemendikdasmen menunjukkan masih ada 17.803 desa yang belum memiliki PAUD.
"Nah kemudian kita bisa lihat kalau akses PAUD di Indonesia. Ini kita bicara tentang berapa banyak anak-anak kita di usia gini ini terakses PAUD. Bapak ibu semua kita memiliki desa yang ada PAUD-nya 66.473. Namun masih ada 17.803 tidak ada PAUD," kata Mareta.
2. Kualitas PAUD Belum Merata
Selain kurangnya jumlah PAUD, kualitas beberapa PAUD juga belum terjamin. Data Kemendikdasmen menunjukan baru 54,87 persen dari jumlah PAUD di Indonesia yang berakreditasi B.
"Berarti sisanya anak-anak kita berada di satuan PAUD yang belum kita pastikan terjamin kualitas atau mutunya," ujar Mareta.
Adapun satuan PAUD yang terakreditasi minimal B dikatakan Mareta 70 persennya ada di pendidikan formal. Sementara di kelompok bermain satuan PAUD sejenis (SPS) dan TPA masih rendah yakni di bawah 50 persen.
3. Beberapa PAUD Masih Terapkan Hukum Fisik
Di tengah maraknya kasus kekerasan fisik hingga verbal di satuan pendidikan, temuan Kemendikdasmen memperlihatkan masih adanya PAUD yang menerapkan hukuman fisik kepada siswa.
"Dan lebih menyedihkan lagi bapak ibu semua, dari hasil Sulinjar ada 6 persen guru paut kita percaya bahwa ketika kita bicara tentang bagaimana membawa perilaku anak itu dengan hukum fisik. Jadi luar biasa bagaimana kualitas tenaga pendidik kita," ungkap Mareta.
4. Kualifikasi Guru Masih Rendah
Meski jumlah guru PAUD sudah cukup memenuhi kebutuhan, tetapi belum untuk kualitasnya. Mareta menyampaikan masih banyak PAUD yang gurunya bukan lulusan pendidikan PAUD atau S1/D4.
"Bapak ibu semua kalau kita bicara tentang bagaimana guru kita dihadapi kualifikasi pendidikannya maka baru 57,47 persen guru PAUD kita ini berijazah S1. Dari jumlah 628.155 jumlah guru PAUD yang ada di Indonesia," tuturnya.
Mareta berharap dengan adanya program Wajib Belajar 13 Tahun, jumlah PAUD mulai merata. Kemudian, kualitas guru pun semakin meningkat seiring dengan adanya beasiswa-beasiswa bagi guru dari pemerintah.
"Oleh karena itu maka Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah ini menyusun program-program kualitas untuk memastikan bahwa pendidikan bermutu ini dinikmati oleh semua anak, tidak ada anak yang tertinggal. Oleh karena itulah pada tahun 2025 ke depan juga ini beberapa program kualitas yang dilakukan oleh Kementerian yang pertama adalah waktu belajar 13 tahun untuk akses tadi," katanya.
Simak Video "23 Ribu Desa Tak Punya PAUD, Ini Strategi Kemendikdasmen"
(cyu/pal)