Sebanyak 695 siswa dari SMPN 1 dan SMKN 1 di Saptosari, Gunungkidul, DI Yogyakarta diduga keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG), Selasa (28/10/2025). Para siswa mengalami sakit perut dan muntah muntah, dan tiga di antaranya dirawat di RS.
Sepuluh guru SMKN 1 Saptosari juga diduga mengalami keracunan makanan. Melansir detikJogja, mereka keracunan satu jam lebih dulu dari siswa usai mencicipi MBG sesuai arahan Badan Gizi Nasional (BGN).
Merespons kasus keracunan pangan yang terjadi pada MBG, akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola program ini. Para peneliti dan dosen UGM juga memberikan sejumlah saran untuk tata kelola MBG ke depan.
Sorot Mekanisme Pemulihan-Ganti Rugi
Dosen Fakultas Hukum UGM, Sri Wiyanti Eddyono PhD menjelaskan, dari sisi hukum, kebijakan MBG belum punya mekanisme pemulihan memadai bagi korban keracunan pangan. Sri menambahkan, perlu ada sistem pertanggungjawaban yang jelas bagi korban.
"Ganti rugi bisa diajukan secara perdata melalui gugatan class action," kata Sri, dikutip dari laman UGM, Kamis (30/10).
Ia menjelaskan, sistem pertanggungjawaban memungkinkan masyarakat punya perlindungan hukum saat pihak terlibat ternyata lalai dalam bertugas.
Penegakan tanggung jawab atas dampak kebijakan publik seperti MBG menurut Sri juga merupakan bentuk penerapan keadilan sosial oleh pemerintah. Dengan kata lain, keadilan sosial bukan hanya diukur dari pemerataan penerima MBG.
Penjelasan ini disampaikan Sri pada webinar Keracunan Pangan dalam Program MBG: Tata Kelola dan Akuntabilitas dalam Perspektif Hukum, Sosial, dan Ekonomi, Sabtu (25/10). Kegiatan ini digelar Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM, Departemen Biostatistik, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi FK-KMK UGM, Keluarga Alumni UGM (KAGAMA), dan Komunitas Sambatan Jogja (SONJO).
Belajar dari Praktik Terbaik-Kegagalan Negara Lain
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGM, Wisnu Setiadi Nugroho SE MSc PhD mengatakan, dari sisi ekonomi, kasus keracunan pangan pada MBG mencerminkan lemahnya tata kelola program. Ia menilai keracunan pada program publik ini bisa diantisipasi sejak awal.
Wisnu mengatakan, penguatan sistem perencanaan dan pengawasan MBG bisa mengacu pada hasil pembelajaran dari pengalaman dan praktik terbaik negara lain. Langkah ini menurutnya bisa menekan potensi risiko seperti keracunan pangan dan meningkatkan efisiensi pelaksanaan MBG.
"Kita tidak perlu mengalami kesalahan yang sama. Banyak negara sudah punya contoh yang bisa dijadikan acuan sebelum program dijalankan secara nasional," ucapnya.
Pengelolaan Berorientasi Gizi, Keamanan, dan Akuntabilitas
Direktur PKT UGM, Dr dr Citra Indriani MPH, mengatakan sistem pengelolaan MBG harus berorientasi pada penjaminan keamanan dan akuntabilitas, di samping pemenuhan gizi. Ia berpendapat, keberhasilan program publik seperti MBG bergantung pada sistem yang mampu memastikan transparansi pada setiap tahap pelaksanaan.
"MBG bukan hanya tentang nutrisi, tetapi bagaimana sistem bekerja, mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi, hingga tanggung jawab ketika terjadi masalah," ucapnya.
Pemberdayaan Sekolah-Pesantren-Komunitas
Guru Besar FEB UGM Prof Dr R Agus Sartono MBA menilai pelaksanaan MBG dengan pendekatan desentralisasi akan lebih efektif ketimbang pengadaan terpusat. Dalam hal ini, sekolah, pesantren, dan komunitas lokal dapat mengelola langsung dana program sesuai kebutuhan wilayah.
Menurut Agus, cara ini dapat bantu meningkatkan rasa tanggung jawab masyarakat atas keberhasilan program.
"Untuk pesantren dan sekolah yang sudah punya dapur atau kantin, cukup salurkan dananya langsung agar mereka bisa mengelola sendiri," ucapnya.
Simak Video "Video: Momen Wali Murid Sekolah Elite di Serang Banten Tolak MBG"
(twu/pal)