Kasus keracunan yang diduga akibat Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali terjadi. Sebanyak 352 anak di Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, dilaporkan menjadi korban keracunan.
"Sampai pagi ini, sudah 352 orang. Tapi datanya terus berubah-ubah, karena masih banyak yang berdatangan," kata Kapolsek Sindangkerta, Iptu Solehudin, dilansir dari detikJabar, Selasa (23/9/2025).
Dugaan keracunan massal yang menimpa anak sekolah ini berawal dari puluhan siswa di sebuah SMK Pembangunan Bandung Barat. Para siswa mengeluhkan gejala khas keracunan, seperti muntah-muntah, demam, hingga sesak napas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mirisnya, korban keracunan tak hanya menyasar anak sekolah, tapi juga siswa PAUD. Beberapa dari mereka kemudian dirujuk ke RSUD Cililin serta ke RSIA Anugrah.
Apa Penyebab Keracunan MBG di Bandung Barat?
Koordinator Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Wilayah Bandung Barat, Gani Djundjunan, mengatakan dugaan awal keracunan MBG berkaitan dengan menu yang diperkirakan kurang layak dikonsumsi.
"Menurut info terakhir itu karena menunya dimasak terlalu dini, jadi mengakibatkan makanan didistribusikan ke siswa dalam keadaan sudah tidak bagus," ungkapnya dilansir detikJabar, Selasa (23/9/2025).
Berdasarkan keterangan siswa, dikatakan bahwa mereka mencium bau tidak sedap ketika membuka kotak MBG. Akibatnya, banyak siswa tidak menghabiskan makanan dari MBG tersebut.
Kini, untuk memastikan penyebabnya secara pasti, Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat saat ini sudah mengambil sampel bekas muntahan dari siswa yang keracunan usai menyantap menu MBG.
"Kami bawa sampel muntahan ke Labkesda Jabar. Kalau menunya ada tahu, ayam kecap, sayur," ujar Plt Kepala Dinas Kesehatan KBB, Lia N. Sukandar.
Kasus Keracunan MBG yang Berulang
Kasus keracunan karena menu MBG merupakan kejadian yang berulang. Bulan Agustus 2025, keracunan yang menimpa anak-anak sekolah, bahkan guru juga terjadi di wilayah DI Yogyakarta.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut, data siswa yang keracunan MBG mencapai 6.452 anak.
"Laporan dari kawan-kawan yang kita sebar di beberapa provinsi. Jadi per 14 September kemarin, kami juga merilis ke media itu sudah di angka 5.360, lalu kemudian per 21 September kemarin, kita bikin PPT ini kita collect data lagi ternyata sudah tambah 1.092 kasus," kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, dalam RDPU Komisi IX DPR RI, Senin (22/9/2025) dikutip dari detikNews.
JPPI menyoroti beberapa masalah yang serius dalam pelaksanaan MBG. Termasuk di antaranya yaitu lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah.
Menurut JPPI, pemda, khususnya dinas pendidikan dan dinas kesehatan, tidak hadir dengan tegas untuk memastikan standar pangan, distribusi, dan keamanan makanan.
Di sisi lain, JPPI menilai juga ada standar gizi yang bermasalah. Banyak anak menerima makanan yang jauh dari standar gizi seimbang: porsi kecil, kualitas bahan rendah, dan variasi menu tidak sesuai kebutuhan tumbuh kembang.
"Kondisi ini bukan hanya gagal mencapai tujuan gizi, tetapi juga menimbulkan risiko keracunan massal di berbagai daerah," jelas JPPI melalui keterangan tertulis pada Rabu (17/9/2025).
Kemudian, Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai penanggung jawab pusat dinilai gagal menjamin akuntabilitas.
"Sebagai pengendali program MBG, Badan Gizi Nasional justru membiarkan klausul-klausul bermasalah, bahkan terkesan mendorong sekolah menutup kasus jika terjadi keracunan," ungkap JPPI.
Pemerintah Harus Serius Melakukan Pengawasan
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM, Prof Dr Ir Sri Raharjo, M Sc, menilai kasus keracunan menunjukkan adanya kegagalan sistemik dalam proses penyiapan, pengolahan, maupun distribusi makanan.
Menurutnya, lemahnya pengawasan menyebabkan menu yang disajikan menjadi tidak terkontrol. Misalnya, makanan yang sudah dimasak seharusnya tidak disimpan lebih dari empat jam agar tidak memicu pertumbuhan bakteri.
"Koordinasi dan evaluasi yang masih lemah, diperlukan evaluasi dan perbaikan sistem yang belum berjalan efektif," katanya, dikutip dari laman resmi UGM, Selasa (23/9/2025).
Prof Sri berharap pemerintah harus segera meningkatkan pengawasan melalui audit rutin, pelatihan berkelanjutan bagi penjamah makanan, serta memberikan sanksi tegas hingga pencabutan izin jika terjadi kelalaian.
Ia menegaskan, pemerintah juga harus mendorong penyedia katering agar menerapkan sistem batch cooking, memastikan air bersih, serta melakukan uji laboratorium mandiri secara berkala.
(faz/twu)