Siapa yang Untung dari Makan Bergizi Gratis? Guru Besar UGM Beri Jawaban Ini

ADVERTISEMENT

Siapa yang Untung dari Makan Bergizi Gratis? Guru Besar UGM Beri Jawaban Ini

Fahri Zulfikar - detikEdu
Jumat, 03 Okt 2025 18:30 WIB
Petugas berada di depan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Nagari Kampuang Tangah, Lubuk Basung, Agam, Sumatera Barat, Kamis (2/10/2025). Pemprov Sumbar bersama Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penyelenggaraan MBG menghentikan sementara operasional dapur tersebut karena belum memiliki izin resmi kelaikan dari pemerintah dan diduga menyebabkan 110 orang terindikasi keracunan makanan.
 ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/agr
Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/Dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Nagari Kampuang Tangah, Lubuk Basung, Agam, Sumatera Barat, Kamis (2/10/2025).
Jakarta -

Program Makan Bergizi Gratis atau MBG telah menuai polemik bagi sejumlah kalangan. Sistem pengelolaan hingga dampak keracunan massal yang menyasar anak-anak dinilai sangat bermasalah.

Guru Besar Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Prof Dr R Agus Sartono, MBA, mengatakan persoalan yang terjadi pada MBG bukan muncul dari ide besarnya. Namun, pada delivery mechanism, sehingga belakangan ini muncul pandangan negatif dari berbagai kasus keracunan.

Ia mempertanyakan, kenapa MBG tidak dilakukan menggunakan mekanisme yang sudah ada pada program pemerintah lainnya. Misalnya target program MBG untuk siswa dan masyarakat tidak mampu, yang datanya sudah ada di Kementerian Sosial (Kemensos) melalui Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial. Selain itu, ada juga data dari kementerian pendidikan melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi mengapa MBG yang tujuannya sangat bagus tidak dilakukan menggunakan mekanisme yang sudah ada?" katanya melalui keterangan tertulis yang diterima Jumat (3/20/2025).

Prof Agus turut menyinggung tentang pengelolaan pendidikan yang diberikan kewenangannya kepada pemerintah daerah. Ia menyebut UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

ADVERTISEMENT

Menurutnya, UU tersebut telah mengatur bahwa "pendidikan" merupakan urusan konkuren dan daerah diberi kewenangan. Misalnya, Kabupaten/Kota mengelola SD/SMP, Provinsi mengelola SMK/SMA dan pendidikan berbasis agama masih di bawah Kementerian Agama (Kemenag).

"Oleh sebab itu, beri kewenangan kepada daerah sesuai undang-undang, dan Badan Gizi Nasional (BGN) hanya melakukan monitoring. Berdayakan Pemerintahan Daerah, dan dengan cara demikian maka koordinasi dan tingkat keberhasilan akan jauh lebih baik," terangnya.

Pihak yang Untung dari Program MBG

Prof Agus menilai, persoalan keracunan massal di berbagai daerah terjadi karena panjangnya rantai penyaluran MBG. Menurutnya, penyaluran melalui Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG), hanya menguntungkan pengusaha besar yang mampu terlibat dalam program MBG.

"Sungguh menyedihkan jika unit cost Rp 15.000 per porsi per anak, akhirnya tinggal hanya Rp 7.000 saja? Program Makan Bergizi Gratis benar-benar menjadi 'Makan Bergizi Gratis' bagi pengusaha besar. Karena mendapat keuntungan yang besar secara 'gratis'. Jika margin per porsi diambil Rp2.000 dan satu SPG melayani Rp3.000 porsi, maka per bulan keuntungan yang diperoleh sebesar Rp150 juta atau Rp1,8 M per tahun," ungkapnya.

Lebih lanjut, kata Prof Agus, kebocoran 'keuntungan' untuk pihak yang tidak seharusnya, perlu ditekan. Misalnya dengan pilihan implementasi MBG melalui uang tunai kepada siswa.

Bisa Manfaatkan Kantin hingga Bantuan Tunai

Prof Agus berpendapat, program MBG akan menebar lebih banyak keuntungan justru jika memanfaatkan kantin sekolah. Hal ini seperti yang dilakukan di negara-negara maju.

Ia menilai, jika penyaluran dilakukan melalui kantin sekolah, maka akan memberikan makanan yang segar dan skala untuk dampak yang muncul bisa lebih kecil serta terkontrol.

"Kebutuhan bahan baku dipenuhi dari UMKM di sekitar sekolah, sehingga tercipta sirkulasi ekonomi yang baik," ujar Deputi Bidang Pendidikan dan Agama, Kemenko Kesra/PMK RI tahun 2010-2014 tersebut.

Selain itu, menurutnya, ada alternatif kedua yakni dengan memberikan dana secara tunai kepada siswa. Dalam hal ini, BGN hanya perlu menyusun panduan teknis dan pengawasan.

"Biarkan orang tua membelanjakan dan menyiapkan bekal kepada putra putrinya. BGN hanya perlu menyusun panduan teknis saja dan melakukan pengawasan," imbuhnya.

Dengan mekanisme kedua, guru di sekolah juga melakukan pengawasan. Misalnya, jika ada anak tidak dibawakan bekal, maka akan ada peringatan kepada orang tuanya.

Prof Agus mengatakan, cara-cara semacam ini bisa menanggulangi praktik 'pemburu rente'. Termasuk, penyaluran dengan cara transfer langsung ke siswa seperti halnya KIP.

"Dana dapat ditransfer langsung ke siswa setiap bulan seperti halnya KIP, atau seperti penyaluran BOS jika MBG dilakukan melalui kantin sekolah," lanjutnya.

Prof Agus menyadari, bahwa MBG merupakan ide yang bagus. Karena banyak memberikan manfaat seperti perbaikan gizi, mengajarkan tata tertib mangantre saat ambil makanan, bertanggung jawab tidak membuang makanan, dan seterusnya. Namun, persoalan delivery mechanism yang perlu diperhatikan.

"Masih belum terlambat, mari kita perpendek rantai distribusi MBG agar lebih efektif dan hilangkan cara-cara kotor memburu rente. MBG harus benar-benar Makan Bergizi Gratis bagi siswa," pungkasnya.




(faz/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads