Awal 2023, FSGI Catat 86 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan

ADVERTISEMENT

Awal 2023, FSGI Catat 86 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan

Novia Aisyah - detikEdu
Minggu, 19 Feb 2023 19:00 WIB
Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan sepanjang tahun 2021 terus terjadi. Bagaimana data kekerasan seksual selama tahun 2021?
Foto: Getty Images/iStockphoto/airdone
Jakarta -

Belum sampai dua bulan sezjak pergantian tahun, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat ada 10 kasus kekerasan seksual terhadap anak di satuan pendidikan, baik yang berasrama maupun tidak. Jumlah korban yang ditemukan FSGI ada 86 anak. Data tersebut didapat sejak Januari sampai 18 Februari 2023.

Sembilan kasus tercatat sudah dilaporkan ke kepolisian dan dalam proses penanganan. Sementara, ada 1 kasus di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang diselesaikan dengan pemindahan kelas mengajar serta pengurangan jam mengajar guru pelaku.

FSGI mengkritik hukuman semacam ini karena tidak mempertimbangkan kondisi psikologis korban yang masih bersekolah di tempat yang sama dan kemungkinan besar setiap hari bertemu oknum guru pelaku di lingkungan sekolah. Terlebih, guru pelaku berpotensi melakukan hal yang sama kepada anak lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Keputusan hukuman semacam itu tidak akan menimbulkan efek jera pada pelaku dan tidak berperspektif melindungi anak di lingkungan sekolah," terang Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, melalui keterangan tertulis pada Minggu (19/2/2023).

50 Persen Kekerasan Seksual Terjadi di SD/MI

Data FSGI mendapati 50% kasus kekerasan seksual terjadi pada jenjang SD/MI, lalu 10% lainnya di jenjang SMP, dan 40% sisanya di pondok pesantren.

ADVERTISEMENT

Berdasarkan 10 kasus ini, 60% di antaranya terjadi di satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Sedangkan 40% di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Retno menyebut semua pelaku kekerasan ini adalah laki-laki. Adapun statusnya mayoritas adalah pimpinan ponpes dan guru dengan persentase 40% masing-masing. Kemudian, pelaku kepala sekolah dan penjaga sekolah sama-sama 10%.

"Sedangkan korban total 86 anak, baik laki-laki maupun perempuan. Anak korban laki-laki yakni 37,20% dan korban anak perempuan mencapai 62,80%," urai Retno.

Adapun di antara kekerasan seksual yang dicatat oleh FSGI, 10% di antaranya dilakukan secara daring. Peristiwa ini terjadi pada awal 2023 dan menyasar anak usia SD.

Menurut Sekjen FSGI Heru Purnomo, jumlah korban yakni 36 anak. Sebanyak 22 anak dari 36 tersebut merupakan teman satu sekolah yang sama, laki-laki maupun perempuan.

"Korban rata-rata berusia 12 tahun, dikenal pelaku melalui akun Facebook. Modus pelaku mengirimkan konten pornografi melalui grup WhatsApp anak anak korban dan video call pribadi dengan meminta anak korban melepas pakaiannya," kata dia.

Berdasarkan penemuan FSGI, kasus kekerasan seksual kepada anak-anak itu terjadi di lima provinsi dan 10 kabupaten/kota, yaitu:

1. Provinsi Lampung: Kabupaten Mesuji, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Utara dan Lampung Barat;

2. Provinsi Jawa Tengah: Kabupaten Batang dan Kota Semarang;

3. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta: Kabupaten Gunung Kidul

4. Provinsi Jawa Timur: Kabupaten Jember

5. Provinsi DKI Jakarta: Kota Jakarta Timur

"Data tersebut menunjukan bahwa 50% kasus KS (kekerasan seksual) di satuan pendidikan terjadi di Provinsi Lampung. Hal ini tentunya memerlukan pendalaman lebih jauh terkait faktor sebab akibatnya dan upaya menanggulanginya. Sedangkan 20% terjadi di Jawa Tengah dan 10% masing-masing terjadi di DIY, Jawa Timur dan DKI Jakarta", beber Heru.

Modus Kekerasan Seksual

FSGI mencatat, dari 10 kasus kekerasan seksual di awal 2023 ini, ada beberapa modus pelaku melancarkan aksinya, yaitu:

1. Dibujuk agar mendapatkan barokah dari Tuhan oleh pelaku yang pemilik ponpes.

2. Valuasi pembelajaran di dalam ruang podcast ponpes pada pukul 23.00 WIB kemudian dicabuli.

3. Diiming-imingi uang dan jajanan oleh pelaku.

4. Lapor dilecehkan teman sekolah ke kepala sekolah, malah dicabuli kepsek di ruang UKS dengan dalih memeriksa dampak pelecehan yang dilaporkan.

5. Guru kelas menyentuh pinggang dan dada, siswinya melawan, namun si guru malah mengulangi.

6. Guru agama periksa PR, siswi dipangku dan diminta kakinya mengangkang.

7. Pelaku bukan guru, yang bersangkutan berkenalan dengan anak korban melalui medsos, lalu dimasukan korban ke grup WhatsApp teman sekolahnya. Pelaku melakukan video call, mengirimi video porno dan melakukan kekerasan seksual berbasis daring terhadap 22 siswi SD dari sekolah yang sama.

8. Korban diberi uang dan diajak ke kantin, lalu diciumi dan diremas dadanya.

Berdasarkan delapan modus ini, kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan berbasis agama berasrama dinilai FSGI memiliki unsur relasi kuasa yang melekat kuat antara tokoh agama dan santrinya.

Nilai-nilai ketakziman santri untuk memperoleh keberkahan guru dan semua perkataan kiai atau ustadnya menjadi sesuatu yang harus dilakukan. Jika tidak, maka dianggap akan mengurangi keberkahan maupun syafaat.

"Sehingga, pelaku biasanya dianggap memiliki kebenaran hakiki baik ucapan maupun tindakannya. Hingga hanya sedikit masyarakat yang mempercayai kebenaran peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban yang notabene masih di bawah umur," Retno menambahkan.

Mutasi Bukan Hukuman Tepat

FSGI mengamati, selama ini kekerasan seksual yang dilakukan pendidik adalah Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.

Aturan itu digunakan untuk mengatur guru dan non guru PNS serta PNS lainnya. FSGI menyebut tidak ada aturan lain terkait mutasi khusus untuk guru yang merugikan peserta didik, kecuali PP tersebut.

Mereka menyebut dinas pendidikan di Indonesia umumnya menggunakan peraturan yang berlaku umum yaitu peraturan kepegawaian. Sehingga, yang dihukum dalam hal ini bukan jabatan gurunya melainkan pegawainya.

FSGI menerangkan, dalam hukum kepegawaian tidak ada hukuman penjara, sehingga kerap kali sanksi ketika korban tidak melapor ke polisi terkait perbuatan pelecehan seksual dan bahkan pencabulan adalah berupa mutasi. Mutasi dinilai bukanlah hukuman, tetapi untuk promosi jabatan atau atas keinginan si pegawai sendiri.

Pihak FSGI mengatakan, untuk sejumlah kasus, si guru pelaku kekerasan seksual mengulangi perbuatan yang sama kelak di kemudian hari di tempat bertugasnya yang baru dengan korban anak yang lain. Artinya tidak ada efek jera dengan hukuman mutasi.

"Misalnya, kasus kekerasan seksual guru agama berinisal AM (33 tahun) dan berstatus PNS yang juga menjabat pembina OSIS di SMPN di Kabupaten Batang, Jawa Tengah (2022). Ternyata pelaku sebelumnya diduga pernah melakukan kekerasan seksual di sekolah sebelumnya. Namun, keluarga korban tidak melapor ke polisi," beber Ketua Tim Kajian Hukum FSGI, Guntur Ismail.

"Untuk kejahatan seksual yang dilakukan secara berulang dengan melihat kasus dan dampak yang ditimbulkan bagi korban, orang tua, masyarakat dan latar belakang pelaku menyalahgunakan kekuasaan, hendaknya menjadi prioritas dalam penegakan hukum penerapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 pasal 6 huruf c dengan ancaman hukuman pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)," pungkasnya.

Rekomendasi dari FSGI

FSGI turut menyarankan sejumlah hal ini kepada para pihak terkait:

1. FSGI mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk memastikan bahwa para pendidik yang menjadi pelaku kekerasan seksual kepada anak didiknya, harus dipidana. Hal ini untuk mendorong adanya efek jera sekaligus tidak ada anak yang menjadi korban lagi.

FSGI mendorong hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak sesuai dengan mandat dari UU RI No. 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual yang menyatakan bahwa perkara tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan.

2. FSGI mendorong Kemendikbudtistek melakukan sosialisasi secara masif dan implementasi kebijakan dari Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.

3. FSGI mendorong Kementerian Agama RI untuk melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di madrasah dan pondok pesantren atau satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemenag. Mengingat, kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan di bawah Kemenag lebih tinggi jika dibandingkan dengan satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek.

4. FSGI mendorong Kemenag RI dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Lampung melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 ke seluruh lembaga berbasis keagamaan (formal dan non formal) dengan menekankan keberpihakan terhadap korban. Sebab, kasus-kasus terjadi di sejumlah pesantren di wilayah Lampung;

5. FSGI mendorong dinas-dinas pendidikan kabupaten/kota/provinsi dan kantor Kemenag kabupaten/kota/provinsi untuk melakukan kerjasama dengan SKPD di daerah seperti Dinas PPPA dan P2TP2A kabupaten/kota/provinsi dalam penanganan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual. Pasalnya guru-guru bimbingan konseling tidak ada di jenjang SD.

6. FSGI mendorong pemerintah daerah melakukan kerja sama dengan perguruan-perguruan tinggi di wilayahnya yang memiliki fakultas psikologi untuk membantu pemulihan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual. Hal ini mengingat proses pemilihan psikologi anak korban umumnya membutuhkan waktu pemulihan yang cukup panjang dan harus tuntas.




(nah/nwy)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads