Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Nusa Tenggara Timur (NTT), mencatat meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di NTT.
Kepala Seksi Tindak Lanjut UPTD PPA NTT, Margaritha Mauweni, mengungkapkan kasus kekerasan seksual di NTT pada 2024 mencapai 398 kasus. Sedangkan, laporan yang diterima pada Januari hingga pekan pertama Mei 2025 sudah mencapai 198 kasus dan sebanyak 32 kasus telah ditangani.
"Rata-rata korban kekerasan seksual itu berusia 2-18 tahun. Kemudian kabupaten yang sering terjadinya kasus tersebut itu tersebar di Pulau Timor, Rote, Sabu, Alor, Sumba dan Flores," ujar Itha, sapaan akrab Margaritha, ketika diwawancarai detikBali di kantornya, Kamis (8/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Itha, NTT sudah dapat dikategorikan sebagai provinsi darurat kekerasan seksual. Di sisi lain, dia menilai para korban juga sudah mulai berani bersuara dan melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya.
"Kami tidak bisa kerja sendiri, tetapi kami membutuhkan berbagai pihak untuk membantu dalam penyelesaian kasus," jelas Itha.
Menurut Itha, fenomena kekerasan seksual di NTT ibarat gunung es. Adapun, kebanyakan kasus kekerasan seksual dipicu oleh para pelaku menonton film porno.
"Beberapa kasus yang kami tangani itu rata-rata para pelaku nonton video (porno) setelah itu baru mereka lakukan kekerasan seksual," beber Itha.
Lima Bersaudara Dicabuli Paman
Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah lima anak bersaudara yang menjadi korban pencabulan di Kecamatan Alak, Kota Kupang. Para korban itu adalah A, S, A, N dan A. Pelaku merupakan paman para korban berinisial R.
"Pelaku adalah orang terdekat dari para korban yaitu paman kandung. Sehingga kasus ini sangat memprihatinkan bagi keluarga korban," ujar Itha.
Itha menuturkan kejadian pencabulan itu terjadi pada April 2025. Saat itu R mendatangi rumah para korban yang sedang sendirian. Di sana R, menyuruh mereka untuk memegang alat vitalnya secara begiliran.
"Para korban ini usianya ada tiga tahun dan 9 tahun. Pelakunya juga sudah ditangkap dan sedang diproses hukum," tutur Itha.
Saat ini, Itha berujar, kasus kekerasan seksual di Kota Kupang terus terjadi. Menurutnya rata-rata para korban itu adalah siswi SD, SMP dan SMA. Selain itu, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga sering terjadi hingga memakan korban jiwa.
"Kami juga sering tangani kasus KDRT dan banyak juga kasus perempuan terdampak," terang Itha.
Banyak Anak Sekolah Gunakan MiChat
Itha lantas menyoroti kasus prostitusi online yang marak memanfaatkan aplikasi MiChat di Kupang. Ia menyebut pengguna Michat di daerah itu kebanyakan anak SMP dan SMA. Menurutnya, hal ini menunjukkan lemahnya fungsi kontrol orang tua dalam mengawasi penggunaan ponsel terhadap anak-anaknya.
"Makanya banyak kasus sehingga beberapa waktu lalu Pak Gubernur NTT, Melki Laka Lena, sudah sering kampenyekan stop kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak," kata Itha.
UPTD PPA NTT, dia berujar, telah berulang kali melakukan sosialisasi ke kampus dan sekolah-sekolah di NTT. Ia mendorong para tokoh agama untuk turut mengampanyekan antikekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
"Sangat diharapkan tokoh-tokoh agama ini turut berperan aktif saat khotbah di gereja, masjid, dan sebagainya karena suara mereka pasti lebih didengar oleh umat.
Sebelumnya, Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) NTT mengungkapkan lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di NTT didominasi warga binaan pemasyarakatan (WBP) dengan kasus asusila. Jumlahnya mencapai 75 persen dari total WBP.
"Semuanya 75 persen terjerat kasus asusila atau di sini dikenal dengan istilah kasus nabrak gunung," ujar Kepala Kakanwil Ditjenpas NTT, Maliki, Senin (28/4/2025).
(iws/dpw)