Menurutnya, dengan dibukanya pilihan bentuk tugas akhir selain skripsi, maka akan semakin memperkuat peran bahasa Indonesia sebagai bahasa keilmuan di kampus.
Ketua prodi Doktor Linguistik Terapan UNJ itu menuturkan, pembelajaran bahasa Indonesia di pendidikan tinggi perlu diubah, tidak hanya dipakai untuk menulis karya ilmiah.
Dia menyebut pembelajarannya perlu diubah juga untuk berbagai keahlian sosial seperti berkoordinasi, negosiasi, persuasi, mentoring, kepekaan membantu, sampai mengambil keputusan.
"Oleh karena itu, perlu perubahan pembelajaran bahasa Indonesia yang seperti pengimplementasian metode studi kasus, berbasis proyek, yang diperkuat dengan pendekatan Kontekstual Adaptif Kolaboratif (KAK), yang akan mendekatkan fungsi bahasa pada dunia kerja melalui luaran mata kuliah proyek-proyek pemecah masalah yang nyata di masyarakat," paparnya (20/11/2023), seperti dikutip dari Antara.
Malapraktik Pembelajaran Bahasa Indonesia
Ketua Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (ADOBSI) Dr Rohmadi menuturkan pembelajaran bahasa, tak terkecuali bahasa Indonesia semestinya dapat menjadi sarana berpikir dan komunikasi di segala kesempatan. Sayangnya terjadi malapraktik di pembelajaran bahasa Indonesia.
Apa yang dimaksud Rohmadi sebagai malapraktek adalah bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib kurikulum (MKWK).
"Malpraktek terjadi karena masih banyak dosen pengajaran bahasa Indonesia sebagai MKWK bukan dosen yang berlatar belakang pendidikan bahasa Indonesia tetapi siapa saja bisa mengajar bahasa Indonesia," ujar Rohmadi.
Di samping itu, menurutnya pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi dianggap membosankan lantaran mengajarkan tata tulis dalam menulis skripsi, misalnya membuat kutipan dan daftar pustaka yang sebenarnya dapat dikerjakan oleh kecerdasan buatan.
Ada banyak instansi pendidikan tinggi yang tak memiliki dosen tetap mata kuliah MKWK. Maka dari itu, Rohmadi berharap ada perubahan dalam pengajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi.
(nah/faz)