Rancangan undang-undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) masuk Produk Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Terkait hal ini, Komisi X DPR berencana merevisi UU Sisdiknas tahun ini.
Soal PPDB dan Guru
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Hermawan merinci sejumlah kekurangan pada UU Sisdiknas saat ini. Implementasi UU ini salah satunya membuat penerimaan peserta didik baru (PPDB) terus menjadi masalah akibat adanya disparitas atau ketidakseragaman standarisasi nasional pendidikan di daerah.
Lebih lanjut, implementasi UU Sisdiknas menurut Cecep juga belum mampu menyelesaikan akar permasalahan guru dari hulu ke hilir secara komprehensif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Implementasi UU Sisdiknas selama ini belum sepenuhnya mengakselerasi peningkatan Indeks Pembangunan Pendidikan. Kualitas pendidikan kita masih tertinggal dengan bangsa lain. Lemahnya peran Lembaga Pendidikan, Tenaga Kependidikan atau LPTK, masih dianggap lemah itu," katanya dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR pertama dengan pakar terkait revisi UU Sisdiknas di Kompleks Parlemen, Kamis (27/2/2025).
"Dan masih adanya disparitas kualitas implementasi standar nasional pendidikan antardaerah. Sehingga PPDB itu selalu jadi masalah karena standarisasi nasional pendidikan kita di daerah masih terjadi disparitas. Kemudian pembentukan UU Sisdiknas belum mampu menjawab persoalan jaminan pemenuhan hak-hak dan akses pendidikan bagi seluruh warga negara, baik guru, peserta didik, dosen, mahasiswa, dan masyarakat secara meluas," imbuhnya.
Ia menambahkan UU Sisdiknas masih parsial dan belum komprehensif. Hal ini menurut Cecep dibuktikan dengan sejumlah regulasi berbentuk UU di luar UU Sisdiknas yang substansinya masih tentang pendidikan.
Beberapa di antaranya yakni UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU No 13 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, UU Np 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mengatur soal penyelenggaraan pendidikan bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan, hingga UU No 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Soal Pendidikan Informal dan Nonformal
Lebih lanjut, Cecep berpendapat sebagian besar pasal atau ketentuan dalam UU Sisdiknas cenderung lebih banyak mengatur terkait pendidikan formal di persekolahan. Sementara tripusat pendidikan terdiri dari pendidikan formal, informal, dan nonformal, atau keluarga-sekolah-masyarakat.
"Belum terintegrasinya sisi pendidikan di berbagai jalur, jenjang, dan jenis. Kemudian tidak berimbangnya tripusat pendidikan," ucapnya.
UU Sisdiknas sendiri, menurut Cecep, juga belum komprehensif mengatur berbagai kebijakan pendidikan.
"Belum menggambarkan penyelenggaran urusan pendidikan dalam satu pintu dalam kementerian pendidikan. Apalagi sekarang pendidikan ada dua kementerian," sambungnya.
Dampak Penelitian Kampus
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan ( FH Unpar) Johannes Gunawan atau Jogun menyorot arah perguruan tinggi dalam UU Sisdiknas.
Salah satunya soal dampak penelitian di perguruan tinggi dan keberpihakannya pada si miskin untuk dapat memajukan peradaban dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana amanat pasal 31 ayat (5) UUD 1945.
Jogun berpendapat, sementara perguruan tinggi mengejar status world class university dan dosen mengejar publikasi karya ilmiah terindeks Scopus, amanat UUD 1945 tersebut juga penting untuk dipenuhi sehingga perguruan tinggi dapat melahirkan penelitian-penelitian yang berguna untuk masyarakat Indonesia.
"Undang-Undang Sisdiknas nanti itu memerintahkan bahwa penelitian-penelitian itu harus betul-betul berdampak kepada masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat kita," ucapnya.
"Jadi memberikan resep bagaimana supaya manusia gerobak itu tidak jadi manusia gerobak lagi. Manusia di bantaran sungai itu tidak menjadi miskin lagi. Jadi preferensial option for the poor. Keberpihakan kepada mereka yang miskin," imbuh Jogun.
Peraturan Parsial Menyulitkan di RUU Sisdiknas
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar) Bernadette Mulyati Waluyo mengatakan mengatakan penyusunan RUU Sisdiknas secara kodifikasi menjadi sulit karena banyak peraturan yang bersifat parsial sehingga penyusunannya secara sistematis akan jadi sangat lama. Sedangkan metode omnibus berisiko sulit dipahami dan tidak dibaca masyarakat.
"Paling tidak yang saya alami terhadap undang-undang cipta kerja. Masyarakat itu akan sulit sekali memahami, sehingga banyak terjadi kekeliruan. Bahkan lalu tidak dibaca. Yang kedua, itu kalau dengan kodifikasi sangat memerlukan waktu yang lama. Seperti halnya penyusunan BW Belanda, yang di Indonesia itu KUH Perdata, itu memerlukan puluhan tahun untuk bisa selesai," ucapnya.
Terkait penyusunan RUU Sisdiknas ini, Bernadette setuju agar beberapa peraturan dijadikan satu atau dikompilasi.
"Seperti hukum Islam, itu ada kompilasi hukum Islam. Di dalam kompilasi, tidak diperlukan suatu sistematis seperti penyusunan KUH Perdata," ucapnya.
Dukung Tenaga Kependidikan
Bernadette juga menyorot pentingnya UU Sisdiknas menyentuh tenaga kependidikan, baik dalam pengembangan kompetensi, upah, hingga jaminan sosial.
"Tenaga kependidikan ini juga berhak untuk memperoleh penghasilan atau upah atau jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena mereka itu juga di dalam menjalankan tugas itu sangat mendukung SDM dosen atau pendidik. Nah, sehingga mereka ini juga perlu mendapatkan penghargaan sesuai dengan prestasi kerja," ucapnya.
"Pengembangan diri ini sebaiknya juga diberikan kepada tenaga kependidikan. Nah, yang kedua sehingga, maksudnya kalau tenaga kependidikan ini terjamin, maka dia akan merasa aman di dalam menjalankan tugas," imbuh Bernadette.
(twu/faz)