Bagaimana langkah pertama mencari ide untuk menyusun jurnal ilmiah? Lalu seperti apa menghadapi fenomena Artificial Intelligence (AI) seperti ChatGPT dalam perkuliahan? Ini kata para profesor Malaysia.
"Tengok dan baca situs UN (United Nations/PBB). Biasaya current issue dan demand yang jadi fokus warga dunia bisa dilihat di situ. Kemudian ikuti tren dunia, seperti saat ini ada SDG's (Sustainable Development Goals) itu ada 17 goal kan. Nah ide riset individu bisa diambil dari situ," demikian kata Dekan Universiti Kualam Lumpur (UniKL) Prof Ts Dr Ahmad Naim.
Hal itu disampaikan Prof Naim menjawab pertanyaan audiens tentang langkah pertama mencari ide dalam menulis jurnal ilmiah, dalam diskusi tentang Impactful Research di 'Seminar dan Pameran Pascasarjana Malaysia' yang digelar di Gedung Menara Mandiri, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Minggu (14/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditambahkan Dekan Universiti Utara Malaysia (UUM) Profesor Dr Norhafezah Yusof, untuk mencari ide penelitian, baca jurnal terkini di bidang yang dipelajari. Kalau bisa jurnal-jurnal ilmiah yang terindeks Scopus.
"Saya suggest jurnal Scopus terbaru terbitan 3-5 tahun ke belakang. Dari situ bisa diketahui tren dan arah penelitian di suatu bidang itu mau ke mana," tutur Prof Norhafezah dalam forum yang sama.
Lalu, lanjutnya, bisa juga dari jurnal terkini, mengangkat masalah dan topik yang sama, tetapi, datanya bisa ditarik secara lokal.
"Misal kita tahu ada suatu penelitian itu, tapi datanya data US-UK, yang sudah banyak diketahui orang. Nah data Indonesia atau data Malaysia belum ada, nah bisa itu jadi topik penelitian. Kalau kita ke luar negeri, kita selalu presentasikan data Malaysia. Data negara kita itu sungguh sangat berharga. Kalau dunia ingin tahu data di suatu negara, mereka akan ke mana? Akan mengontak kita para researcher di negara itu," jelas Prof Norhafezah.
ChatGPT Alat Pendukung Riset
Prof Ahmad Naim juga menanggapi pertanyaan audiens soal keresahan pemakaian ChatGPT di kampus-kampus. Para dosen di kampus, ujar audiens yang seorang mahasiswa di salah satu kampus di Jakarta itu, khawatir ChatGPT meningkatkan plagiarisme.
"Saya termasuk yang memandang ChatGPT adalah positive things. Masalahnya bagaimana dosen ini bisa meningkatkan skill above AI. I use ChatGPT to improve my students thesis and writing," jelas Prof Naim.
Dia menambahkan, selalu ada gap atau perbedaan bila menggunakan ChatGPT. Nah gap ini, yang nggak besar-besar amat, diisi atau dilengkapi dengan pengetahuan penggunanya. Jadi seharusnya, dunia akademis tak anti dengan ChatGPT.
"Kan AI itu ada to improve our live. Ini tantangan kita semua," imbuh Prof Naim.
Ditambahkan Dekan Institute Graduate Studies Universiti Teknologi MARA (UiTM) Prof Zuhaina Haji Zakaria, hasil ChatGPT sangat membantu namun tak bisa diambil mentah-mentah. Perlu perbaikan dan analisa dari usernya.
"Kita tak bisa ambil mentah-mentah dari ChatGPT, kan belum ada analisa kalau di ChatGPT. Nah setelah melalui ChatGPT, kita analisa dan perbaiki. If we can't beat them, we join them," jelas profesor yang kajian risetnya tentang aplikasi AI ini.
(nwk/nah)