×
Ad

Ahli ITB Tekankan Hutan Alami Cegah Banjir-Longsor, Apakah Kebun Sawit Bisa?

Devita Savitri - detikEdu
Selasa, 16 Des 2025 15:30 WIB
Ilustrasi hutan. Ahli ITB tekankan pentingnya hutan alami, begini katanya. Foto: ANTARA FOTO/Andry Denisah
Jakarta -

Ahli ekofisiologi tumbuhan dan Kelompok Keilmuan Sains dan Bioteknologi Tumbuhan, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH ITB) Taufikurahman tekankan pentingnya kehidupan vegetasi hutan alami. Keberadaannya dinilai penting dalam mencegah bencana alam seperti banjir dan longsor.

Taufikurahman menjelaskan, pada kondisi alami, hutan dengan pohon memiliki kemampuan menahan, menyaring, dan mendistribusikan air secara seimbang. Dengan begitu, air hujan yang jatuh ke Bumi tidak langsung mengalir deras ke permukaan.

Vegetasi alami memiliki sistem hidrologi yang dapat bekerja secara mandiri. Ketika tutupan hutan hilang, mekanisme ini menjadi terganggu, runtuh, dan rentan terhadap erosi, banjir, hingga longsor.

"Situasi inilah yang menimbulkan pertanyaan besar mengenai peran hutan alami dan mengapa keberadaannya sangat penting untuk menjaga kestabilan ekologi," tuturnya dikutip dari laman resmi ITB, Selasa (16/12/2025).

Fungsi Tak Tergantikan Hutan Alami

Tak sekadar pohon yang ditanam pada suatu area, Taufikurahman menekankan, hutan alami adalah sebuah sistem ekologis yang berlapis dan kompleks. Pada sebuah hutan primer, terdapat berbagai jenis pohon besar dengan akar-akar menembus jauh ke dalam tanah.

Pohon tersebut juga memiliki lapisan serasah (sisa daun, ranting, kulit, kayu, bunga, buah) tebal di permukaan tanah, serta komunitas mikroorganisme yang bisa mendekomposisi bahan organik tersebut. Kombinasi ini menciptakan struktur tanah yang kokoh dan mampu menyimpan air dalam jumlah besar.

Menyerap Air Hujan

Dalam pencegahan banjir, salah satu fungsi fisik dalam hutan alami adalah memecah energi hujan. Ketika hujan, air akan turun perlahan dan meresap ke dalam tanah. Proses ini bisa terjadi karena adanya gravitasi bumi.

"Sehingga mengurangi kecepatan air hujan saat sampai tanah dan ini mengurangi efek kerusakan top soil," beber Taufikurahman.

Lapisan serasah tebal punya peran seperti spons sabun cuci piring. Air akan meresap secara lambat dan meningkatkan infiltrasinya, yaitu proses masuknya air ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah.

Lantaran tanah di hutan alami kaya akan bahan organik, kemampuan menyerap airnya akan jauh lebih tinggi dibandingkan lahan terbuka. Untuk itu, peran hutan alami dalam menyimpan air dengan jumlah besar sangat penting.

Mengikat Tanah

Akar pohon hutan alami yang besar juga punya fungsi mekanis penting dalam mencegah longsor. Akar-akar ini menyediakan kekuatan yang menjaga tanah tetap terikat. Pada lereng yang curam, akar-akar akan menjadi jangkar alami agar massa tanah tidak bergerak ketika hujan deras turun.

"Sistem alami ini bekerja tanpa intervensi manusia dan telah berlangsung selama berabad-abad, sehingga ketika hutan ditebang atau digantikan tanaman budidaya, fungsi ekologis fundamental tersebut hilang seketika," paparnya.

Kelapa Sawit Tidak Punya Fungsi Seperti Hutan Alami

Salah satu isu yang ramai berkembang adalah digantikannya hutan alami dengan kebun kelapa sawit. Keduanya dianggap punya manfaat yang sama karena sama-sama pohon.

Menanggapi hal tersebut, Taufikurahman menyebut kelapa sawit dan pohon besar di hutan alami punya fungsi ekologis yang berbeda. Kebun kelapa sawit adalah tumbuhan monokultur yang perlu ditanam secara berjarak sekitar 9 meter.

Ruang terbuka di antara pohon membuat sawit kurang bisa menahan air dan mengikat tanah. Keadaan ini juga memungkinkan hujan jatuh langsung ke permukaan tanah dengan energi tinggi.

Jenis akar yang dimiliki kelapa sawit juga berbeda dengan pohon besar, yakni berbentuk serabut dengan kedalaman terbatas, sekitar 1,5 hingga 2 meter. Kedalaman ini dinilai kurang mampu memberikan penyangga yang kuat terhadap tanah, terutama di wilayah miring.

"Tidak seperti hutan alami yang memiliki akar dalam, berlapis dan saling terkait antarspesies, sementara kebun sawit memiliki pola akar yang seragam dan dangkal. Akibatnya, tanah mudah tergerus ketika terjadi arus deras air larian (run off) akibat intensitas hujan yang tinggi," jelasnya.

Kelemahan lain yang jatuh pada tanah kebun kelapa sawit yang tidak memiliki lapisan serasah tebal. Keadaan ini membuat tanahnya cepat menjadi padat dan sulit menyerap air.

Saat keadaan infiltrasi menurun, aliran permukaan tanah akan meningkat dan membawa lapisan tanah bagian atas. Akibatnya, erosi tanah bisa terjadi.

Rendahnya keanekaragaman tumbuhan di kebun kelapa sawit bisa menyebabkan menurunnya intensitas siklus nutrisi alami yang menjaga kualitas tanah. Penanaman kelapa sawit juga kerap menggunakan pupuk dan pestisida yang intens.

Taufikurahman menjelaskan, proses itu dapat mengganggu biota tanah. Padahal, biota tanah dibutuhkan agar struktur tanah terus menjadi sehat dari waktu ke waktu.

"Dengan demikian, walaupun kelapa sawit merupakan tumbuhan hijau dan berakar, struktur ekologinya tidak cukup untuk berperan sebagai penyangga hidrologi dan penguat tanah sebagaimana hutan alami," tegas Taufikurahman.

Pentingnya Konservasi Hutan

Dampak dari hilangnya hutan alami sudah terlihat di berbagai daerah Indonesia. Bahkan terbaru, banjir besar dan longsor Sumatera menjadi bukti hilangnya tutupan vegetasi alami milik Indonesia.

Jika pemberian izin dan lemahnya pengawasan tidak ditanggulangi, tekanan ekologis akan membuat wilayah rawan bencana semakin meluas. Akibatnya, masyarakat akan menghadapi risiko yang semakin besar.

Hutan juga merupakan habitat bagi aneka ragam hewan, seperti gajah, harimau, orang utan, monyet, dan burung. Ketika hutan alami rusak, hewan-hewan ini tidak bisa hidup dan berkembang biak dengan maksimal.

Untuk mengembalikan ekosistem hutan, Taufikurahman menegaskan perlu restorasi besar-besaran. Restorasi ini memerlukan inventarisasi spesies asli, penyediaan bibit pohon lokal, dan pemulihan kualitas tanah.

Kualitas tanah di Indonesia yang telah ditanam kelapa sawit serta tambang mengalami degradasi (penurunan kualitas), bahkan rusak. Untuk itu, diperlukan penanganan khusus sebelum ditanami lagi.

"Tanah bekas kelapa sawit dan tambang itu sering rusak. Ada yang pH-nya sangat asam, ada yang strukturnya padat sekali, sehingga harus di-treatment terlebih dahulu sebelum ditanami," jelasnya.

Taufikurahman menyadari, proses pemulihan alami memang tak akan sebentar, bahkan berlangsung hingga ratusan tahun. Namun, intervensi yang disiapkan dengan baik bisa mempercepat proses tersebut menjadi beberapa dekade.

Ia juga mengingatkan agar pemerintah dan pejabat memahami konsep dasar lingkungan. Harapnnya, di masa mendatang, tdak ada lagi keputusan salah langkah yang menyebabkan kerusakan lingkungan.

Di ranah pendidikan, Taufikurahman mendorong agar adanya pendidikan lingkungan hidup di ranah perguruan tinggi. Materi ini harus diberikan kepada semua mahasiswa dari seluruh program studi mengingat mereka adalah calon pemimpin dan perancang kebijakan masa depan.

"Upaya menjaga dan memulihkan hutan hanya dapat berhasil melalui kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan peneliti agar pengelolaan lingkungan dapat berjalan lebih efektif dan berkelanjutan," pungkasnya.



Simak Video "Video: Daya Serap Air Pohon Sawit Vs Pepohonan Hutan"

(det/twu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork