Minyak sawit banyak digunakan sebagai bahan dalam makanan, kosmetik, hingga biofuel. Namun, sejak lama studi telah menyoroti meluasnya perkebunan sawit berdampak pada peningkatan deforestasi atau hilangnya tutupan hutan.
Studi tahun 2008, mengungkapkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia mencapai lebih dari 50.000 mil persegi atau 12,9 juta hektare. Wilayah tersebut, dulunya merupakan tutupan hutan hujan tropis yang kaya akan habitat satwa liar dan spesies langka.
Menurut penulis studi dari Zoological Society of London dan University of East Anglia, Emily Fitzherbert, peran produksi sawit dan deforestasi telah menjadi perdebatan. Terutama karena ada dampak terhadap ancaman keanekaragaman hayati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan mengkompilasi studi ilmiah tentang burung, kelelawar, semut, dan spesies lainnya, kami dapat menunjukkan bahwa rata-rata, kurang dari seperenam spesies yang tercatat di hutan primer ditemukan di perkebunan kelapa sawit," ujarnya, seperti dilansir phys.org.
"Hutan yang terdegradasi, dan bahkan tanaman alternatif seperti karet dan kakao, mendukung jumlah spesies yang lebih tinggi daripada perkebunan kelapa sawit," tambah Fitzherbert.
Kelapa Sawit Buruk untuk Spesies Penghuni Hutan Hujan Tropis
Studi tersebut menegaskan bahwa kelapa sawit merupakan habitat pengganti yang buruk bagi sebagian besar spesies hutan tropis. Khususnya spesies yang menghuni hutan hujan tropis dan spesies yang menjadi perhatian konservasi.
"Perkebunan baru tidak menggantikan hutan dan melindungi apa yang tersisa dari hutan asli di dalam, dan sekitar perkebunan (tersisa) adalah satu-satunya pilihan nyata untuk melindungi sebagian besar spesies," kata para peneliti.
Peneliti menyoroti bahwa kebijakan internasional telah menuntut bukti tanggung jawab lingkungan, khususnya bahwa lahan dengan nilai konservasi tinggi tidak diubah menjadi kelapa sawit, agar dapat membantu menjaga hutan.
"Terdapat cukup lahan non-hutan yang cocok untuk pengembangan perkebunan sehingga memungkinkan peningkatan produksi yang signifikan tanpa deforestasi lebih lanjut," kata rekan penulis Ben Phalan dari Universitas Cambridge.
Penanaman Kelapa Sawit yang Tidak Berhenti
Data Human Rights Watch (HRW) melaporkan, bahwa studi menyebut antara tahun 2001 dan 2017, Indonesia kehilangan 24 juta hektar tutupan hutan, atau hampir seluas Inggris Raya.
Berbagai studi telah menyoroti bahwa penebangan hutan dalam skala besar tidak hanya mengancam kesejahteraan dan budaya penduduk asli. Penebangan hutan memiliki dampak global, yang berkontribusi terhadap emisi karbon.
Di sisi lain, masyarakat adat yang menjaga dan melestarikan hutan akan terus menanggung beban dampak perkebunan kelapa sawit serta berisiko kehilangan identitas khas mereka.
"Masyarakat adat memiliki hubungan intrinsik dengan lingkungan mereka. Tradisi, pengetahuan, dan identitas budaya mereka sangat terkait dengan lingkungan alam tempat mereka tinggal," tulis laporan HRW.
Selain itu, deforestasi telah menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca di Indonesia. Laporan dari Queen Mary University of London menyebut, deforestasi untuk produksi kelapa sawit merusak habitat alami dan menempatkan banyak spesies pada risiko kepunahan.
"Produksi kelapa sawit memengaruhi 190 spesies dalam daftar merah spesies terancam punah IUCN," kata laporan dalam laman resmi Queen Mary University of London.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup: Sawit Bukan Tanaman Rehabilitasi Hutan
Dekan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Budi Setiadi Daryono, M Agr Sc, Ph D, menjelaskan bahwa perkebunan kelapa sawit mengancam hutan dan biodiversitas. Ia menyebut, banyak riset telah menyatakan bahwa kawasan perkebunan sawit tidak mampu menjadi habitat satwa liar.
"Hampir 0% keragaman hayati berkembang di perkebunan sawit," kata Budi Daryono dalam laman resmi UGM, dikutip Senin (8/12/2025).
Di Indonesia sendiri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sebelumnya telah menyebutkan bahwa sawit bukan tanaman hutan. Hal ini berdasarkan pada Peraturan Menteri LHK Nomor P.23/2021 tentang sawit bukan termasuk tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
Sementara itu, hutan sebagai penyerap air juga sangat penting dalam menjaga siklus air. Ketika hutan hilang, potensi banjir dan tanah longsor bisa lebih parah.
Ini karena tanaman kelapa sawit tidak bisa menggantikan fungsi pepohonan dalam hutan hujan tropis. Tanaman kelapa sawit tidak punya daya serap air sebaik pepohonan hutan.
Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI, kini Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan/SPPB), Dr Ir Mahawan Karuniasa, mengatakan tanaman sawit memiliki akar yang dangkal, sehingga infiltrasi air menjadi sedikit. Ini berbeda dengan pohon-pohon besar di hutan.
"Individu pohon itu, kan, akarnya besar-besar kalau pohon biasa, berkayu dengan tingginya dan seterusnya. Biasanya kan tinggi pohon sama dengan kedalaman akarnya, meskipun macam-macam gitu ya," jelasnya, dikutip dari 20Detik, Senin (8/12/2025).
Dalam hal ini, jika hujan dengan intensitas yang sama jatuh di perkebunan sawit dan hutan, maka banjir akan lebih parah ada di wilayah kebun sawit.
"Karena (di hutan) yang diserap banyak dibanding apa yang terjadi di tanaman kelapa sawit," ungkap Mahawan.
(faz/pal)











































