Keberlangsungan hidup gajah Sumatera kian jadi sorotan setelah bencana banjir bandang melanda sejumlah wilayah di Sumatera pada awal Desember 2025 ini. Gajah-gajah turut menjadi korban.
Hutan yang dulunya merupakan tempat berlindung mereka kini berubah jadi hektaran lahan sawit hingga karet. Ancaman alih fungsi tersebut menjadi alarm bahaya bagi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).
Tagar "Save Tesso Nilo" pun menggema di media sosial. TNTN adalah habitat berbagai satwa langka seperti Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, macan dahan, tapir cipan, dan beruang madu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut pakar ekologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Dr Tati Suryati Syamsudin, wilayah tersebut tengah menghadapi tekanan besar.
Meski sudah ditempatkan di kawan tersebut, Tati menegaskan bahwa gajah memerlukan ruang gerak lebih luas. Dengan tergusurkan hutan menjadi pemukiman hingga lahan sawit, maka mereka akan terus berpindah ke tempat lain.
"Selama ekosistem hutan menyediakan ruang gerak dan makanan, gajah akan tetap berada di habitat alaminya. Namun jika makanan tidak tersedia, mereka akan mencari ke daerah lain," katanya dikutip dari laman ITB, Jumat (5/12/2025).
Wilayah gerak yang menyempit membuat gajah Sumatera harus bergerak ke tempat lain. Gajah-gajah pun kemudian terpencar, padahal mereka hidup berkoloni.
Konflik Manusia dan Gajah Meningkat
Menyempitnya hutan habitat gajah juga menimbulkan konflik manusia dan gajah semakin banyak terjadi. Gajah bergerak ke pemukiman warga dan perkebunan sawit.
Ujungnya, manusia merasa dirugikan dengan munculnya gajah ke pemukiman. Menurut Tati, hal ini perlu diperjelas lewat regulasi.
"Regulasi sebenarnya sudah ada, tetapi implementasinya tidak mudah. Seringkali petugas juga mengalami kesulitan, ketika masyarakat merasa dirugikan. Perlu kejelasan mengenai siapa yang memberikan izin, bagaimana aturannya, dan seperti apa mekanisme perjanjiannya yang mungkin tidak dipahami oleh masyarakat yang berkegiatan di area tersebut. Belum lagi jika ada intervensi dari pihak atau oknum yang punya kepentingan dari TNTN," tegasnya.
Tersendatnya Konservasi karena Urusan Ekonomi
Tati menyoroti permasalahan tata kelola lahan TNTN. Menurutnya, meski sudah ada berbagai instrumen kebijakan, masalah tetap berlanjut karena kepentingan sosial ekonomi.
"Upaya penanganan kerusakan di Tesso Nilo tidak semuanya bisa tertangani walaupun pedoman regulasi sudah ada, namun instrumen yang tersedia belum cukup untuk menjangkau persoalan di lapangan," katanya.
Pemulihan ekosistem saat ini juga semakin sulit. Masalahnya, sawit sudah siap dipanen dan kebutuhan ekonomi pekerja sawit juga harus dipenuhi.
"Bagaimana dengan area yang sudah ditanami sawit dan akan segera dipanen? Ini juga perlu menjadi perhatian," katanya.
Adapun pemulihan wilayah konservasi menurut Tati tidak bisa dilakukan begitu saja. Perlu proses yang panjang setelah berubahnya wilayah-wilayah menjadi kepentingan ekonomi.
"Pemulihan ekosistem tidak bisa cepat. Reklamasi lahan bekas tambang saja baru menunjukkan hasil setelah lebih dari 15 sampai 25 tahun. Jadi memang tidak sesederhana itu," tuturnya.
Peran Komunitas Lokal dalam Konservasi Gajah
Dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH ITB) tersebut mengatakan usaha pelestarian habitat gajah memerlukan bantuan berbagai pihak, mulai dari akademisi, masyarakat, dan komunitas.
"Masyarakat lokal harus diajarkan arti konservasi. Mereka memiliki kebutuhan primer, sehingga harus ada aktivitas yang memberi manfaat langsung," kata Tati.
Kata Tati, cara pengelolaan wilayah konservasi yang bisa dijadikan contoh salah satunya adalah Tangkahan di Sumatera Utara. Di sana, komunitas lokal dapat mengelola hutan lewat ekowisata dan konservasi.
"Contoh pengelolaan yang baik sudah ada. Tantangannya adalah bagaimana kita mengimplementasikannya," ujarnya.
(cyu/faz)











































