Pro-Kontra Royalti Lagu, Pakar Hukum UGM Beberkan Pihak yang Harus Bayar Royalti

ADVERTISEMENT

Pro-Kontra Royalti Lagu, Pakar Hukum UGM Beberkan Pihak yang Harus Bayar Royalti

Nikita Rosa - detikEdu
Minggu, 24 Agu 2025 15:00 WIB
ilustrasi menyanyi
Ilustrasi Lagu. (Foto: ilustrasi/thinkstock)
Jakarta -

Warganet tengah memperdebatkan kebijakan royalti lagu. Perbincangan ini muncul lantaran pelaku usaha wajib membayar royalti jika memutar lagu di tempat usahanya. Sementara itu, ada anggapan sebagian warga bahwa pelaku usaha punya andil dalam promosi lagu tersebut.

Berdasarkan peraturan mengenai royalti musik dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak cipta, pencipta dan pemilik hak terkait berhak atas imbalan ketika karya mereka digunakan secara komersial. Dalam hal ini, hak cipta melekat termasuk pada buku, lagu, karya lukisan, karya fotografi, dan lain sebagainya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Laurensia Andrini PHD menyampaikan, pada dasarnya, setiap karya cipta memiliki hak royalti. Seorang pencipta lagu berhak atas dua hal. Pertama, hak moral yang berkaitan dengan hak untuk diakui sebagai pencipta lagu.

"Jadi, kenapa seseorang berhak atas royalti, utamanya karena dia punya hak cipta terhadap lagu yang dia ciptakan," terang Andrini dalam laman UGM, dikutip Minggu (24/8/2025).

ADVERTISEMENT

Ia menambahkan, dengan adanya hak moral, sebuah lagu tidak boleh sembarangan diganti liriknya atau dipelesetkan tanpa seizin pencipta lagunya. Selain itu, royalti terkait dengan hak ekonomi. Apabila sebuah lagu diputar di tempat publik hingga dipentaskan, pencipta lagu tersebut berhak mendapatkan royalti.

Siapa yang Harus Membayar Royalti Lagu?

Andrini menilai penyelesaian atas perdebatan royalti lagu memang tidak mudah. Semenjak ramainya kasus terkait royalti, disebutkan bahwa salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia telah menempuh judicial review. Selain itu, juga terdapat Rancangan Undang-Undang yang diajukan ke DPR. Peraturan Menteri Hukum juga resmi dikeluarkan yakni Permenkum No 27 Tahun 2025 yang mengatur pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik.

Menurut Andrini, tantangan yang dihadapi dalam penyelesaian permasalahan ini diperkirakan timbul dari dua pihak, yakni pihak dari LMK selaku pemegang wewenang atas penarikan royalti yang belum transparan dan pelaku usaha yang belum memiliki kesadaran.

"Sebenarnya kalau menurut saya ini permasalahan sistemik. Ketidaktransparanan ini bisa disebabkan karena tidak adanya mekanisme transparansi yang ditetapkan. Di sisi lain, pengguna sendiri juga tidak merasa hal ini adalah sebuah kewajiban,"tuturnya.

Kendati demikian, peraturan mengenai penetapan tarif royalti telah ditetapkan sejak 2016. Pihak yang memakai karya cipta untuk kebutuhan komersil diwajibkan untuk melapor frekuensi pemutaran lagu dalam satu bulan dan dibayarkan royaltinya kepada LMKN.

"Jadi, secara normatif, pelaku usaha yang melaporkan," terang Andrini.

Sementara itu, secara hukum,Andrini menjelaskan adanya kewajiban bagiLMKN untuk melakukan audit keuangan dan kinerja minimal satu tahun sekali. Kemudian, hasilnya diumumkan kepada masyarakat melalui satu media cetak nasional dan media elektronik.

Budaya Hukum di Indonesia

Pada praktiknya, masih banyak ditemukan kasus mengenai royalti musik. Menurut Andrini, masalah tersebut dipengaruhi oleh budaya hukum yang ada di Indonesia.

Ia menjelaskan, secara historis, Indonesia memiliki budaya kolektif komunal. Hal tersebut terlihat dari bentuk budaya daerah. Contohnya, tari-tarian daerah dianggap milik daerah, bukan individu.

"Di Indonesia kolektif komunal, jadi kepemilikannya (karya) bukan kepemilikan individu," jelasnya.




(nir/twu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads