Tunjangan DPR Naik di Tengah Ekonomi Sulit, Dosen UGM: Menambah Beban APBN

ADVERTISEMENT

Tunjangan DPR Naik di Tengah Ekonomi Sulit, Dosen UGM: Menambah Beban APBN

Fahri Zulfikar - detikEdu
Jumat, 22 Agu 2025 16:30 WIB
DPR gelar rapat paripurna di DPR RI, Jakarta, Kamis (24/7/2025)
Foto: DPR gelar rapat paripurna (Anggi/detikcom)/Rapat paripurna di DPR RI, Jakarta, Kamis (24/7/2025)
Jakarta -

Kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menjadi sorotan. Salah satu poin yang menuai kritik yaitu tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan.

Berdasarkan Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan pada Surat Menteri Keuangan nomor S-520/MK.02/2015, tunjangan DPR per bulan dibedakan menjadi tunjangan melekat dan lainnya. Per bulan, anggota DPR sedikitnya bisa mengantongi gaji Rp 50 juta per bulan.

Jika ditambah dengan tunjangan rumah, maka jumlah yang dikantongi anggota DPR bisa mencapai Rp 100 juta per bulan. Angka ini menuai kritik di tengah efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah dan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dosen Program Studi Manajemen Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Subarsono, MSi, MA, mengatakan, kenaikan tunjangan anggota DPR (menjadi sampai Rp 100 juta per bulan) justru menjadi kabar kurang sedap di mata rakyat. Ini karena kondisi ekonomi rakyat yang tidak baik-baik saja.

Ia berpendapat, kebijakan kenaikan tunjangan DPR tidak menunjukkan sensitivitas sosial terhadap kondisi yang ada. Terlebih rakyat harus menghadapi kebutuhan pokok yang cenderung naik hingga pengangguran.

ADVERTISEMENT

"Gaji ASN yang tidak naik dan harga kebutuhan pokok yang cenderung naik, menjadikan mereka (rakyat) harus mengencangkan ikat pinggang. Sementara itu, di sekitar kita ada fenomena PHK dan pengangguran, ini menambah ironisnya keputusan kenaikan tunjangan DPR sebagai wakil rakyat," kata Subarsono kepada detikEdu, Jumat (22/8/2025).

Menambah Beban bagi APBN, yang Diambil dari Pajak Rakyat

Subarsono menilai, secara ekonomi, kebijakan kenaikan tunjangan DPR akan menambah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mirisnya, APBN ini didapatkan salah satunya dari pajak rakyat.

"Ini akan menambah beban bagi APBN, sedangkan APBN antara lain dikumpulkan dari pajak rakyat dan logis kalau rakyat bertanya apakah kebijakan ini sesuai dengan Tujuh Belas Program Prioritas Pembangunan Prabowo-Gibran dan Delapan Misi Asta Citanya pemerintahan Prabowo-Gibran," ucap lulusan S2 Flinders University, Australia tersebut.

Menurutnya, alokasi tambahan anggaran untuk DPR seharusnya bisa dialihkan ke sektor lain yang lebih berdampak langsung. Misalnya seperti pendidikan, kesehatan, atau subsidi masyarakat miskin seandainya DPR mau menolak kenaikan tunjangan.

Dengan adanya kenaikan tunjangan DPR, lanjut Subarsono, berpotensi memperlebar jarak antara elit politik dengan rakyat. Hal ini terutama jika kesejahteraan masyarakat umum tidak mengalami peningkatan serupa.

"Rakyat logis bertanya, apakah wajar wakil rakyat mendapat fasilitas tinggi sementara masih banyak rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Ini mengindikasikan bahwa wakil rakyat betul-betul tidak memiliki kepekaan sosial terhadap realita sosial yang dihadapi masyarakat," jelasnya, yang juga pakar bidang kebijakan publik.

Kenaikan Pendapatan DPR Tidak Akan Menambah Kinerja

Subarsono berpendapat, kondisi yang saat ini terjadi, dapat memicu ketidakpercayaan rakyat terhadap anggota Lembaga Legislatif. Padahal, mereka para wakil rakyat mengklaim akan memperjuangkan kepentingan rakyat sebagaimana janji kampanye politiknya.

"Saya berpendapat, tanpa pengawasan dan tekanan ketat dari publik, kenaikan gaji DPR tidak akan menambah kinerja mereka, tetapi justru mengantarkan mereka dalam hidup hedonisme," ungkapnya.

"Anggota DPR (seolah hanya) menyadari bahwa pundi-pundi mereka berasal dari pemerintah dan bukan (malah sadar gaji mereka juga berasal) dari rakyat. Oleh karena itu, (mereka merasa) tidak perlu bersusah payah memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat, tetapi lebih baik (memilih) menjaga relasi baik dengan pemerintah," imbuhnya.

Subarsono menekankan, saat ini diperlukan pengawasan publik yang terdiri media massa, LSM, masyarakat sipil dan akademisi. Berbagai pihak perlu didorong untuk mengkritisi kebijakan dan kinerja DPR terutama dalam menyelesaikan Prolegnas agar ada bukti kerja nyata dari DPR.

"(Terutama) RUU tentang Perampasan Aset perlu segera diselesaikan oleh DPR," pungkasnya.




(faz/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads