Sejak Muhammad Rizky berangkat ke Montenegro, Eropa Selatan setelah lulus dari SMP Lab School Rawamangun, Jakarta, 2018, pasangan Suradi dan Safrudiningsih seolah hidup kesepian tanpa anak. Maklum, kedua putrinya, Qomaruliati (Ruli) Setiawati dan Rachmadiani (Rachma) Lestari telah lebih dulu kuliah di luar negeri, masing-masing di Maine, Amerika Serikat dan Madrid, Spanyol.
Sebelum belajar ilmu Ekonomi di Maine, 2016-2020, Ruli sempat menempuh pendidikan tingkat menengah di United World College (UWC) Pearson College, Kanada 2014-2016. Dari Maine, dia melanjutkan S-2 bidang Data Science di Unversity Of British Columbia, Kanada, 2020 hingga akhir 2021. Sementara Rachma kuliah Jurusan Hukum Internasional di IE University Madrid, Spanyol 2016-2020. Sekarang dia bekerja di bidang keuangan di Luxembourg.
Sedangkan Rizky pada Maret lalu meraih Sarjana Ekonomi dari KU Leuven University, Belgia. Kini dia melanjutkan S-2 bidang Information Manajemen (data science) di kampus yang sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Alhamdulillah ketiga anak kami mendapat beasiswa, jadi gak terlalu pusing memikirkan biaya kuliahnya," kata Suradi.
Untuk menambah aktivitas, pada November 2019 keduanya mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di rumahnya, Bukit Duri Tanjakan III No. 8. Ada yang mengira hal itu dilakukan sebagai bagian dari upaya mengusir kesepian. Anggapan semacam itu tak sepenuhnya benar. Keduanya masih punya kesibukan sebagai dosen di Institut Media Digital Emtek (IMDE) yang sebelumnya bernama Akademi Teknologi Komunikasi dan Informasi.
"Aku bikin TBM Bukit Duri Bercerita ini bukan karena kesepian, tapi justru kepingin agar anak-anak di kampung ini juga merasakan kemewahan seperti anak-anakku. Tiap minggu bebas beli buku yang mereka suka, main ke museum, atau rekreasi ke tempat-tempat lain," ungkap Safrudiningsih yang biasa disapa anak-anak, Mbak Ning Nong, saat berbincang dengan detikEdu, Sabtu (26/7/2025) lalu, ditulis Senin (28/7/2025).
Lama ia memendam hajatnya itu. Keinginannya semakin kuat ketika dia mengikuti berbagai seminar dan pelatihan terkait literasi. Ia terngiang-ngiang dengan ucapan seorang narasumber bahwa untuk berbuat sesuatu, seperti mendirikan TBM tak harus menunggu sempurna dan serba lengkap. Setelah berdiskusi dengan sang suami dan menyetujuinya, akhirnya pendirian TBM pun dimulai dengan koleksi buku seadanya.
"Tapi dalam hitungan bulan, berkat jejaring pertemanan yang kami punya, koleksi buku bertambah pesat. Juga peralatan pendukung lainnya," kata Mbak Ning Nong.
Dua tahun kemudian, tepatnya 30 Agustus 2021, TBM resmi bernaung di bawah yayasan dengan akte notaris Lenny Helena, SH. Lalu membuka rekening khusus di bank BUMN dengan nominal awal dari sang suami, Rp 15 juta.
"Tapi sampe sekarang masih utuh tuh. Untuk aktivitas rutin kami rogoh kocek sendiri aja. Kalau mau bikin acara ke luar, suka ada aja teman yang berdonasi," ujarnya.
Selain itu, relawan pengajar pun datang silih-berganti. Pada 21 Desember 2024, misalnya, menghadirkan Agus Nuramal alias PM Toh, pendongeng kawakan asal Aceh. Juga ada para dosen dari IMDE untuk mengajari membuat konten media sosial yang cocok bagi anak-anak, atau beberapa mahasiswa asal Korea dan China yang tengah menempuh S-2 UI yang berbagi pengetahuan soal bahasa dan budaya mereka.
Sejak dua bulan lalu, tiga mahasiswa S-2 Psikologi Universitas YAI Jakarta, yakni Gita Cendana Putri, Qanita Salsabila Tanjung, dan Muhammad Imam Shiddiq melakukan Layanan Komunitas di TBM tersebut.
![]() |
Sejak selepas Ashar ketiganya menggelar aneka permainan psikologi yang diikuti belasan anak usia 11- 16 tahun. Gita yang menitikberatkan pada aspek Kesehatan Mental, misalnya, meminta respons anak-anak bila salah satu dari mereka ada yang menerima bully-an.
"Aku gak mau main sama kamu, karena gendut dan bau. Bagaimana sikap atau jawaban kamu?" tanya Gita.
"Ah, kayak lu cakep aja," jawab seorang anak perempuan disambut tawa teman-temannya. Sementara anak yang lain menukas, "Eh, kamu gak boleh ngomong gitu. Kita kan sesama teman."
Menurut Gita, tak ada salah benar dalam kedua jawaban tersebut. Setiap anak berhak memberikan respons sesuai kondisi masing-masing.
"Tapi kami mengajarkan bagaimana agar setiap bully-an atau serangan dihadapi atau disikapi dengan tenang dan lebih baik," ujar Sarjana Psikologi dari Universitas Mercu Buana itu.
Sementara Qanita memberi tugas anak-anak untuk mewarnai gambar bunga sebagai bagian dari Art Theraphy. Pilihan warna bebas sesuai selera masing-masing. Namun dari pilihan warna dan tarikan atau goresan yang dihasilkan bisa dianalisis karakter atau kondisi jiwa si anak. Qanita antara lain memperlihatkan dua kertas gambar yang sudah diwarnai. Pilihan warnanya mirip, yakni biru, kuning dan merah.
"Kenapa bisa mirip? Karena ternyata mereka bersahabat dekat. Jadi bisa karena saling intip, dan atau saling mempengaruhi. Mana yang karakternya dominan dan mana yang tergantung ke temannya itu perlu analisi lanjutan yang lebih mendalam," papar Qanita.
Lain lagi dengan Imam. Dia memutar film kartun yang bercerita tentang cita-cita para pemerannya. Hal dimaksudkan untuk menginspirasi anak-anak terkait cita-cita mereka dan apa yang harus dipersiapkan sejak dini.
"Umumnya masih bingung dan tidak tahu dengan cita-cita mereka. Kalua pun ada yang berani menyebut, sifatnya masih umum dan belum mengerti apa yang harus dipersiapkan untuk menggapai hal itu. Kami lah sebagai calon psikolog yang membantu memberikan gambaran," papar Imam.
Apakah berbagai pengajaran literasi dan pendampingan para mahasiswa itu berpengaruh langsung terhadap nilai akademis anak-anak yang aktif di TBM Bukit Duri? Mbak Ning Nong tak berani memastikan. Sebab pencapaian akademis bukan menjadi tujuan utama, tapi bagaimana mereka punya kesadaran, mimpi dan angan-angan, mandiri, dan percaya diri.
"Juga menanamkan budi pekerti. Awalnya anak-anak itu suka nyelonong begitu aja, terus ngambil buku, ada kalanya disobek. Perlahan mereka berubah. Selalu izin, memberi salam, ngomong juga gak lagi pake kata-kata kasar," tandas Mbak Ning Nong.
(jat/nwk)