Setelah memanjakan lidah dengan menikmati aneka jajanan lezat murah-meriah di kawasan Cihapit, Bandung cobalah singgah ke Taman Bacaan (TB) Hendra. Lokasinya di Jalan Sabang Nomor 28, persis di samping deretan kios penjaja aneka jajanan Cihapit. Di sini tersedia sekitar 70 ribu buku cerita, novel, komik, sejarah, politik, ensiklopedia dan lainnya siap menjadi asupan bergizi untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan sekaligus mengenang masa lalu.
Di sana tertata rapi ratusan jilid komik karya SH Mintardja, seperti Api di Bukit Manoreh dan Naga Sasra Sabuk Inten, cerita silat karya Kho Ping Hoo, Wiro Sableng, Legend of The Condor Hero, Candy, Dragon Ball, Kung Fu Boy, Lima Sekawan, hingga Tintin dan Harry Potter.
Untuk novel, selain karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Nh Dini, Motinggo Busye, S Mara Gd, Mira W, Abdullah Harahap, juga terpajang puluhan judul karya Agatha Cristie, Sandra Brown, Daniel Steel, Dan Brown, dan para novelis lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Total yang sudah kami beri barcode sebanyak 70 ribu buku, ribuan buku lainnya kami simpan di belakang karena kondisinya langka dan sudah tua," kata Derian, pewaris TB Hendra, kepada detikEdu, Minggu (16/2/2024).
Selain koleksi pribadi, dia melanjutkan, ada sebagian buku yang merupakan sumbangan dari penerbit maupun anggota masyarakat lain. Derian adalah cucu dari Juliana Huwae. Juliana mendirikan taman bacaan itu pada 1967 setelah memutuskan berhenti menjadi model dan keluar dari pekerjaannya di salah satu Badan Usaha Milik Negara.
Sebagai wanita karir Juliana galau karena putranya, Hendra, kurang mendapat perhatian darinya sebagai ibu. Kebetulan di sudut-sudut rumahnya bertumpuk ribuan buku yang telah dibacanya. Dia lantas menjadikan garasi sebagai rumah baca dengan nama yang diambil dari nama buah hatinya, Hendra.
Ternyata tak cuma tetangga kanan-kiri, depan-belakang yang menikmati koleksi buku-bukunya. Warga yang tinggal di seantero Kota Bandung pun berdatangan untuk meminjam koleksinya. Jumlah pelanggan sebelum pandemi COVID-19 mencapai 8.000 orang, tapi kemudian berkurang drastis hingga separuhnya.
Kemajuan teknologi seperti e-book pun turut andil mengurangi jumlah pengunjung. Belum lagi karena memang minat baca masyarakat yang tidak cukup baik. Menyiasati hal tersebut, Derian yang mengelola TB Hendra bersama sang Bunda, Atie Hendra, membuka kedai kopi Encycoffee pada 2017. Derian percaya di antara yang sudah meninggalkan kebiasaan membaca buku hardcopy masih ada orang yang berminat membaca buku secara fisik.
![]() |
"Ini bagian dari upaya kami bertahan. Jadi saat ini orang datang ke tempat kami selain untuk bernostalgia membaca buku- buku juga sambil menikmati makanan dan minuman," tutur Derian yang sehari-sehari menjadi konsultan advertising dan digital marketing.
Dria, pengunjung asal Yogyakarta mengaku kagum dengan kehadiran TB Hendra. Di kota asalnya, ada beberapa taman bacaan yang pernah dia kunjungi tapi koleksinya tak sebanyak di TB Hendra.
"Ini benar-benar dahsyat sih koleksinya, hampir semua buku klasik ada di sini," kata lelaki berusia 32 tahun itu di sela-sela membaca Tintin seri 'Tongkat Raja Ottokar'seraya menyeruput kopi. Edisi Bahasa Indonesia buku itu pertama dicetak pada 1978.
![]() |
detikEdu beruntung menemukan buku bertajuk Bung Karno Anakku karya Soebagijo IN. Buku setebal 79 itu pertama kali terbit pada 1949 dengan judul Pengukir Jiwa Soekarno. Lalu dicetak ulang pada 1978 dengan judul Bung Karno Anakku. Isinya berkisah tentang Ida Ayu Nyoman Rai Srimben, mulai menikah dengan guru asal Jawa Timur, R Soekemi Sosrodihardjo. Pasangan ini dikaruniai anak perempuan Karsinah yang lahir di Bali, dan Kusno yang lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901. Di kemudian hari keduanya berganti nama menjadi Soekarmini dan Sukarno atau Bung Karno.
![]() |
Soal pergantian nama, versi Ida Ayu Nyoman Rai berbeda dengan pengakuan Sukarno kepada Cindy Adams dalam biografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Menurut Ida Ayu pergantian nama merupakan ide Karsinah yang merasa tidak nyaman setiap kali bapak mereka memanggil, 'Nah' dan 'Kus'.
"Apakah Kus itu singkatan dari Tikus atau Kakus? Ah, saya tak mau lagi dipanggil demikian walau oleh Ayah dan Ibu sekalipun," timpal Kusno menyetujui ide kakaknya itu.
Sukarno kemudian memilih sendiri nama Sukarno dan kakaknya menjadi Karmini atau kemudian menjadi R Soekarmi, sedangkan Kusno menjadi Sukarno.
Sementgara kepada Cindy Adams, Sukarno mengaku sang ayah mengganti namanya dari Kusno menjadi Sukarno karena saat kecil sering sakit-sakitan. Ia pernah terjangkit malaria, tifus, dan disentri. Sukarno diambil dari tokoh Mahabarata, Adipati Karna. Putra sulung Dewi Kunti itu merupakan tokoh Pandawa bersama tiga adiknya, yakni Yudistira, Bima, dan Arjuna.
(jat/nwk)