Jumlah mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri mencapai puluhan ribu. Namun, mereka menghadapi tantangan serius yaitu minimnya perlindungan sosial dan jaminan keselamatan kerja dari negara.
Wakil Koordinator Perhimpunan Pelajar Indonesia Dunia (PPID) 2024-2025, Andika Ibrahim Nasution, mengungkapkan ada puluhan laporan insiden dari berbagai negara terkait kecelakaan kerja hingga eksploitasi tenaga kerja.
Menurut catatan PPID, terdapat keresahan kolektif berdasarkan 48 laporan insiden dari 18 negara yang masuk sejak tahun 2022 hingga pertengahan 2025.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kasus-kasus tersebut mencakup kecelakaan kerja ringan hingga berat, eksploitasi tenaga kerja, serta indikasi perdagangan orang yang dialami mahasiswa Indonesia selama menjalani studi di luar negeri," tulis Andika dalam keterangan tertulis yang diterima detikEdu, Kamis (17/7/2025).
Menurut PPID, sebagian besar mahasiswa Indonesia yang aktif di luar negeri tidak hanya menjalankan aktivitas akademik, tetapi juga terlibat dalam kegiatan produktif seperti kerja paruh waktu, program magang, maupun riset profesional. Sayangnya, aktivitas ini dilakukan di luar jangkauan sistem perlindungan sosial yang berlaku.
Beberapa mahasiswa memang masih terdaftar sebagai peserta aktif jaminan sosial dalam negeri. Namun, akses terhadap manfaat seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) belum menjangkau mereka dalam konteks lintas negara.
"Ketika terjadi insiden darurat seperti kecelakaan kerja, gangguan kesehatan serius, atau bahkan kematian, mahasiswa dan keluarganya harus menanggung sendiri beban yang seharusnya dapat ditangani oleh sistem perlindungan negara," lanjut tulisan PPID tersebut.
Beda Negara Beda Nasib
Nyatanya, tidak semua mahasiswa RI di luar negeri bisa mendapatkan nasib yang sama. Para pelajar dan migran yang ada di Asia Timur, sedikit lebih beruntung.
Beberapa negara seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang telah menyediakan perlindungan sosial yang cukup progresif bagi pelajar dan pekerja migran asal Indonesia. Dalam beberapa kasus, mahasiswa yang mengalami kecelakaan kerja di negara-negara tersebut memperoleh penggantian biaya medis hingga puluhan juta rupiah, termasuk dukungan untuk pemulangan jenazah.
Namun, perlakuan ini kontras dengan kondisi di banyak negara Eropa. Mahasiswa Indonesia di Eropa justru menjadi kelompok yang sangat rentan akibat ketiadaan skema perlindungan resmi.
"Salah satu contoh nyata terjadi di Jerman, di mana seorang mahasiswa yang bekerja sebagai pelayan restoran harus menjalani operasi tangan akibat kecelakaan kerja tanpa mendapat pembiayaan dari pihak mana pun," ungkap PPID dalam laporannya.
Sementara di Hungaria, seorang pelajar asal Indonesia dilaporkan kehilangan dokumen penting dan menjadi korban jaringan kerja ilegal setelah mengikuti program magang yang tidak diatur secara formal oleh lembaga pendidikan.
Dilema Mahasiswa RI: Dituntut Memiliki Daya Saing tapi Minim Perlindungan Sosial
Pada akhirnya, mahasiswa Indonesia banyak yang berada dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, mereka dituntut untuk berdaya, produktif, dan mampu bersaing di tingkat global, tapi di sisi lain belum mendapatkan perlindungan hukum dan sosial yang setara.
Sebagai solusi, PPID menekankan pentingnya kehadiran negara dalam menjembatani celah ini agar hak-hak mahasiswa tidak dibiarkan terbuka bagi potensi eksploitasi. PPID mendorong agar pemerintah segera melakukan reformulasi kebijakan perlindungan sosial yang lebih adaptif terhadap realitas diaspora pelajar.
Hal ini mencakup:
1. Pengembangan produk perlindungan khusus bagi mahasiswa Indonesia di luar negeri
2. Perluasan manfaat jaminan sosial seperti JKK dan JKM ke dalam kerangka internasional
3. Kerja sama bilateral antara pemerintah Indonesia dengan lembaga jaminan sosial di negara mitra.
"Pendataan mahasiswa aktif yang sedang bekerja atau magang di luar negeri juga diperlukan sebagai langkah awal untuk mengintegrasikan perlindungan berbasis data," tambah PPID.
Selain itu, PPID juga menekankan pentingnya edukasi dan peningkatan literasi mengenai hak-hak mahasiswa. Sebab, banyak pelajar Indonesia yang tidak menyadari bahwa aktivitas kerja informal atau magang mereka dapat mengandung risiko tinggi, terlebih tanpa dukungan perlindungan yang sah.
Mahasiswa Indonesia juga perlu tahu bahwa situasi mereka bisa membuka ruang bagi praktik-praktik tidak manusiawi dan itu bisa dicegah bila ada regulasi dan perlindungan yang berpihak.
Melalui pernyataan terbuka, PPID menegaskan kesediaannya untuk bermitra dengan pemerintah dan para pemangku kepentingan dalam menyusun kebijakan perlindungan sosial diaspora, menyelenggarakan forum diskusi publik, serta menghimpun data dan masukan dari mahasiswa Indonesia di berbagai belahan dunia.
"Mahasiswa diaspora bukan hanya pembelajar, tetapi juga agen produktif bangsa yang mengemban misi keilmuan dan diplomasi global. Oleh karena itu, menjamin keselamatan dan kesejahteraan mereka merupakan investasi jangka panjang yang tak terpisahkan dari komitmen negara dalam membangun Indonesia yang kompetitif di kancah internasional," tutup PPID.
(faz/pal)