7 Perbedaan Kuliah di Inggris dan Indonesia Menurut Para Alumni, Catat Nih!

ADVERTISEMENT

7 Perbedaan Kuliah di Inggris dan Indonesia Menurut Para Alumni, Catat Nih!

Devita Savitri - detikEdu
Minggu, 06 Jul 2025 10:00 WIB
Perbedaan kuliah di Inggris dan Indonesia.
Perbedaan kuliah di Inggris dan Indonesia. Foto: (Devita Savitri/detikcom)
Jakarta -

Inggris dikenal sebagai rumah bagi berbagai universitas terbaik dunia, sebut saja University of Oxford, University of Cambridge, dan Imperial College London. Bukan hanya unggul secara peringkat, sistem pendidikan tinggi Inggris juga berbeda dengan yang ada di Indonesia.

Hal ini diungkapkan oleh para alumni dan orang tua dari mahasiswa yang pernah menempuh studi di berbagai kampus di Inggris. Apa saja? Ketahui penjelasannya di sini.

7 Perbedaan Kuliah di Inggris dan Indonesia

1. Dosen Sebagai Fasilitator

Penerima LPDP sekaligus alumnus The University of Manchester, United Kingdom (UK), Inggris, Gilang Rizky Pratama menjelaskan ia merasakan perbedaan kuliah di Inggris dan Indonesia. Mengingat ia melalui S1 di Indonesia dan S2 di Inggris.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, di Indonesia dosen berperan sebagai guru atau edukator. Sehingga ketika datang ke kelas, mahasiswa akan mendengar pembelajaran dari dosen pada satu jam pertama, berdiskusi, dan diberikan tugas.

Tetapi, berbeda dengan yang ia rasakan di Inggris, di mana dosen berperan sebagai fasilitator. Hal ini berbanding terbalik dengan pendekatan belajar yang ada di Indonesia.

ADVERTISEMENT

"Jadi, sebelum datang ke kelas, kita diberikan banyak banget reading materials (materi pembelajaran). Bahkan kita harus menyelesaikan kurang lebih 3 jam untuk baca dulu reading materialsnya, ada buku, ada studi kasus," katanya dalam acara Study UK: Pre-departure Briefing (PDB) 2025 di Ganara Art Space, Plaza Indonesia, Jakarta, Sabtu (5/7/2025).

Ketika sampai di kelas, mahasiswa tidak akan langsung mendengarkan penjelasan dari dosen. Tetapi, mereka akan diskusi terlebih dahulu dan dibuat menjadi kelompok kecil untuk membahas materi pembelajaran.

"Diskusi dulu, kita dibagi kelompok, dosennya tanya jawab dengan kita, baru satu jam terakhir dosennya yang bakal jelasin. Dosennya yang mengklarifikasi apakah statement kita (mahasiswa) betul atau salah," sambungnya.

Metode pembelajaran seperti ini sangat memberikan dampak yang berbeda menurut Gilang. Terutama dalam menumbuhkan sikap pemecahan masalah, berpikir kritis, dan kemandirian.

2. Nggak Ada Absen, Tapi Tanggung Jawab

Lebih lanjut, Gilang menyebut selama berkuliah S2 di Manchester, Inggris tidak ada absensi di kelas. Tetapi, mahasiswa tetap datang ke kelas karena merasa bertanggung jawab.

"Kita nggak ada absensi, kita nggak harus datang ke kelas tapi 90 persen orang datang ke kelas. Karena ketika tidak datang ke kelas mereka punya perasaan oh sayang banget nih," urai Gilang.

Ketika tidak datang ke kelas, seorang mahasiswa akan kehilangan ilmu yang dibagikan dosen dan rekan sejawat. Sehingga perasaan tanggung jawab ada di setiap mahasiswa di sana.

3. Dosen Mudah Diajak Bertemu

Lulusan S1 dan S2 Cardiff University, Wales, Inggris, Karisa Hermawan juga memberikan pengalamannya ketika berkuliah di Negeri Ratu Elizabeth itu. Menurutnya, dosen di sana mudah diajak bertemu.

"Dosen dan tenaga kependidikan lain sangat terbuka dan mudah untuk ditemui, mudah diajak berdiskusi. Mereka akan senang menyempatkan waktu untuk bertemu mahasiswa secara personal tidak hanya di kelas," kata Karisa.

Sehingga mahasiswa bisa mendapat masukan tentang studinya dengan mudah dan cepat. Para dosen di kampusnya juga mengaku senang jika ada mahasiswa yang mencari. Hal ini menurut Karisa sangat berarti dalam pengalaman belajarnya.

4. Dosen dan Profesor Tidak Terlalu Perfeksionis

Masih terkait dosen, alumnus The University of Sheffield Inggris Tiara Hasna menyampaikan dosen dan profesor di Inggris tidak terlalu perfeksionis. Dengan begitu, mahasiswa tidak takut untuk berkonsultasi dengan dosen secara langsung.

"Kalau di kita kaya takut banget nulis tugas akhir skripsi tuh kaya harus benar. Tapi kalau di sana justru mereka sangat terbuka dengan alur yang ada, karena ini research (penelitian). (Jika) belum sempurna mungkin nanti ada yang menyempurnakannya lagi," beber Tiara Hasna.

Tiara mengingatkan para calon mahasiswa yang akan menempuh studi di Inggris agar tidak terlalu khawatir dengan tekanan akademik. Menurutnya, para dosen sangat suportif, apalagi terhadap mahasiswa internasional.

5. Fasilitas yang Mendukung

Di sisi fasilitas, kampus-kampus di Inggris menurut Karisa sangatlah mendukung kegiatan mahasiswa. Fasilitas ini sangat bisa dimanfaatkan mahasiswa untuk bisa berkembang.

Salah satu yang ada di kampusnya adalah pusat karier. Ketika musim magang datang, Karisa mengaku datang berkali-kali ke pusat karir hanya untuk melakukan diskusi tentang CV (Curriculum Vitae), meski terkesan sepele ia dilayani dengan baik.

"Aku pengen apply internship (magang), aku bolak-balik tiap minggu ke career center di kampus buat mereka ngecek CV. Mereka punya fasilitas itu dan mahasiswa bisa memaksimalkannya ketika berkuliah," ucap Karisa.

Perpustakaan di Inggris juga terbuka untuk siapapun yang mau belajar. Di kampusnya, perpustakaan buka selama 24 jam. Hal ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa, karena didukung pihak kampus untuk belajar dan memaksimalkan potensi diri.

6. Sudut Pandangnya Berbeda

Sedikit berbeda, orang tua yang sudah menyekolahkan ketiga anaknya ke Inggris, Fransiskus Kamaruddin juga merasakan perbedaan pendidikan di Inggris dan Indonesia. Perbedaan terlihat pada sudut pandang pendidikan.

Kamaruddin menjejaki pendidikan tinggi S1 dan S2 di Universitas Indonesia, ketika sang anak berkuliah di Inggris ia menemukan cara belajar yang sangat berbeda.

"Ketika saya bandingkan dengan cara pembelajaran di UK sangat berbeda. Bedanya apa, susah mengatakannya karena sudut pandangnya sudah berbeda," ucap Kamaruddin.

Pendidikan di Inggris menganggap mahasiswa adalah sosok yang mampu bertumbuh dan berkembang sesuai karakter mereka masing-masing. Para mahasiswa di sana, diberikan kesempatan untuk melihat berbagai kemungkinan.

"Kalau kita kan, mendebat dosen saja rasanya itu sudah tidak nyaman. Kalau di situ (Inggris) sebuah hal yang biasa, dan mereka bisa mengeksplorasi berbagai hal walaupun tetap ada satu dua hal yang barangkali kita nggak cocok. Tetapi buat pendidikan menurut saya jauh," jelasnya lagi.

Selaras dengan Karisa, buku pembelajaran dan fasilitas di Inggris sangat mumpuni. Ia menyoroti berbagai museum di Inggris yang dibuka untuk umum dan gratis. Sehingga seseorang tidak hanya belajar dari buku dan dosen, tetapi juga melihat secara langsung melalui fakta sejarah.

7. Program Magang di Kampus Inggris

Istri Kamaruddin, Sara Dewi Gunarso membagikan pengalaman magang anaknya ketika di kampus Inggris. Sara menyebut magang di kamus Inggris seperti pengalaman anaknya dilakukan selama satu tahun di tingkat ketiga.

"Beda sekali karena mereka (perusahaan) di sana benar-benar memberikan tanggung jawab pekerjaan serius. Jadi bukan hanya, kalau di sini kadang-kadang anak magang (diminta) fotokopi lah, ngapain lah. Kalau di sana (Inggris) tidak," cerita Sara.

Sampai suatu ketika, sang putri yang tengah magang di perusahaan penelitian dan inovasi kedatangan sebuah mesin baru. Meski anak magang, putrinya diminta mempelajari mesin baru tersebut dan menularkan ilmunya ke karyawan lain.

Menurut Sara tanggung jawab sebesar ini belum tentu diberikan kepada anak magang di Indonesia. Hal inilah yang jadi perbedaan dunia perkuliahan di Inggris dan Indonesia menurutnya.




(det/pal)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads