#KaburAjaDulu: Mendikti Brian-Wamen Stella Sorot Perbaikan dan Brain Circulation

ADVERTISEMENT

#KaburAjaDulu: Mendikti Brian-Wamen Stella Sorot Perbaikan dan Brain Circulation

Trisna Wulandari - detikEdu
Sabtu, 08 Mar 2025 11:00 WIB
Mendiktisaintek Brian Yuliarto dan Wamendiktisaintek Stella Christie
Foto: (Dok detikcom)
Jakarta -

Pembahasan #KaburAjaDulu masih bergulir sejak mencuat dan trending di berbagai platform media sosial lebih dari satu bulan terakhir. Keinginan untuk meninggalkan Indonesia untuk studi maupun bekerja di luar negeri ini dilatari beragam isu, mulai dari biaya kuliah mahal, lapangan pekerjaan minim, upah rendah, kebijakan pemerintah lainnya, dan kondisi di Tanah Air.

Hasil survei YouGov Indonesia 24-27 Februari 2025 menunjukkan 41 persen Generasi Z Indonesia mempertimbangkan kemungkinan pindah ke luar negeri dalam beberapa tahun ke depan. Angka ini disusul kelompok warga berusia lebih tua, seperti Millennial (31 persen), Gen X (26 persen), dan Baby Boomers (12 persen).

Data survei menunjukkan mahasiswa dan akademisi ingin pindah ke luar negeri untuk kuliah (51 persen), sedangkan profesional muda ingin pindah untuk memulai bisnis atau berkarier global di luar negeri (39 persen). Temuan ini mengindikasikan faktor ekonomi dan perluasan peluang usaha dalam keinginan warga usia produktif untuk #KaburDuluAja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kata Menteri Diktisaintek soal #KaburDuluAja dan Suara Masyarakat

Merespons isu #KaburDuluAja, terutama yang merebak di kalangan berpendidikan tinggi, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Brian Yuliarto mengatakan hal ini merupakan suara masyarakat yang menjadi masukan bagi pihaknya.

"Menurut saya ya, apa yang berkembang di masyarakat, itu suara ya, keinginan masyarakat, untuk lebih baik. Dan itu juga tentu menjadi masukan bagi kami. Sehingga kalau kita lihat ya, memang iklim kita memang harus terus kita perbaiki," ucapnya di kantor Kemendiktisaintek, Jalan Pintu Satu Senayan, Jakarta, Jumat (7/3/2025).

ADVERTISEMENT

"Dari sisi iklim, atmosfer kerja, dan sebagainya," ucapnya.

Brian sendiri sempat berkarier di Jepang sebagai peneliti postdoctoral Advanced Industrial Science and Technology (AIST) pada 2005-2006. Kembali ke Indonesia, ia pun bertugas sebagai Kepala Pusat Penelitian Nanosains dan Nanoteknologi Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2018-2020, serta sebagai Visiting Professor di University Tsukuba Jepang sejak 2021.

"Jadi, kalau saya melihat konteks, itu kan feedback, sebuah feedback dari masyarakat, itu sebagai sesuatu yang kita perlu melihat, sebagai apa yang ada, yang harus dievaluasi," ucapnya.

Ia mencontohkan, pendorongan pembangunan industri di Indonesia memungkinkan RI tidak lagi jadi negara produsen alih-alih tetap menjadi negara konsumen. Pembangunan industri dapat turut memotivasi anak muda untuk berkarya dan bekerja di dalam negeri.

Kata Wamen Stella Soal Brain Drain dan Brain Circulation

Sementara itu, Wakil Menteri (Wamen) Diktisaintek Stella Christie menyorot terbitnya brain circulation setelah brain drain dengan pindahnya tenaga kerja berketerampilan tinggi ke luar negeri.

Brain drain adalah fenomena mahasiswa berpendidikan tinggi dan profesional pindah permanen dari negara asalnya, seperti dijelaskan peneliti Gi-Wook Shin dan Rennie Moon, dilansir dari laman Walter H Shorenstein Asia-Pacific Research Center, Freeman Spogli Institute, Stanford University.

Di AS, brain drain antara lain dialami lulusan program doktor sains dan teknik. Fenomena ini memicu isu di negara asal yang ditinggalkan. Kendati demikian, penelitian Shin dan Moon menunjukkan brain drain nantinya juga akan bermanfaat bagi negara asal.

Contoh manfaatnya yakni tenaga kerja dari negara berkembang tersebut jadi bereputasi baik di negara maju tempat ia tinggal. Sedangkan kedua negara terkait jadi bisa menjalin kerja sama.

"Misalnya Satya Nadella (CEO Microsoft) yang banyak sekali memberikan pekerjaan langsung ke Negara India karena dia sangat berhasil di luar (negeri). Sekitar 40 persen (pekerja) di Silicon Valley di Amerika itu berbahasa bukan bahasa Inggris, karena pekerjanya dari bermacam-macam negara, termasuk India. Jadi itu menciptakan lapangan kerja," ucap Stella.

Contoh manfaat lainnya menurut Stella yakni peningkatan sains dan teknologi dengan menerima dari bidang akademik. Ia menjelaskan, profesor di luar negeri asal Indonesia bisa mengajukan lowongan mahasiswa PhD juga dari Indonesia.

"Dan juga ada angka-angka yang sangat jelas dari riset-riset yang dilakukan bukan dari kami, tapi dari macam-macam. Yang saya perkenalkan tadi, bahwa brain circulation ini meningkatkan kualitas sains dan teknologi di negara asalnya, dan juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena dengan adanya kesempatan-kesempatan yang diberikan," jelas perempuan yang juga guru besar di Tsinghua University, Beijing, China ini.

Siapkan Skema Baru untuk Diaspora

Stella mengatakan Kemendiktisaintek akan menyediakan program riset yang merangkul diaspora Indonesia yang sudah sangat membantu Indonesia. Ia mencontohkan, diaspora dalam hal ini membantu dosen asal Indonesia untuk lanjut studi sebagai mahasiswa S3 di kampusnya di luar negeri.

"Ini kan sangat membutuhkan bantuan dari diaspora-diaspora kita yang bisa menerima lebih gampang lagi dosen-dosen kita menjadi S3. Dan kita mempunyai skema-skema khusus yang tentu akan kita launch. Jadi bersama-sama dalam pembangunan negeri kita," ucapnya.

Sebelumnya Brian mengatakan Kemendiktisaintek berencana memberikan beasiswa dosen jenjang S3 untuk meningkatkan kualifikasi SDM dosen, yang nantinya turut meningkatkan kualitas SDM mahasiswa Indonesia. Para SDM Indonesia ini disiapkan untuk masuk dan mendukung perkembangan industri berbasis riset prioritas nasional.




(twu/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads