Fenomena #KaburAjaDulu tengah menjadi perbincangan di media sosial. Lewat tagar #KaburAjaDulu, masyarakat menyuarakan pengalaman dan harapan mereka untuk memulai kehidupan baru di luar negeri.
Melihat fenomena tersebut, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UniversitasAirlangga (FisipUnair), Prof Dr BagongSuyantoDrsMsi mengatakan fenomena ini merupakan bentuk aksi di dunia maya. Masyarakat memanfaatkan media sosial untuk membangun kesadaran khalayak mengenai isu-isu terkini.
"Wacana tagar Kabur Aja Dulu merupakan gerakan yang memang muncul di era perkembangan digital. Mereka memanfaatkan media sosial untuk membangun kesadaran masyarakat untuk mau peduli pada isu-isu politik maupun ekonomi. Jadi, memang gerakan itu tidak selalu dalam bentuk aksi di jalanan karena dampak dan gaungnya seringkali lebih besar dalam bentuk ajakan-ajakan di ruang publik," papar Prof Bagong dalam laman Unair dikutip Kamis (27/2/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, narasi #KaburAjaDulu tak hanya sekadar dorongan 'kabur' dari Indonesia. Lebih dari itu, #KaburAjaDulu dinilai sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi di Indonesia.
Masyarakat Tidak Puas Terhadap Kondisi Indonesia
Tak sedikit yang mengaitkan tren Kabur Aja Dulu dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Prof Bagong menjelaskan jika setiap gerakan pasti memiliki latar belakang yang kuat. Biasanya berupa kekecewaan terhadap kinerja pemerintah, tindakan aparat, atau penyimpangan kekuasaan.
Saat ini, masyarakat menyoroti kebijakan Presiden Prabowo Subianto seperti program makan siang gratis yang dianggap membutuhkan dana besar, sementara di sisi lain terjadi efisiensi anggaran pada beberapa sektor.
"Selama ini fokus pemerintah kelihatannya pada program makan siang gratis sementara publik menilai ada yang tidak konsisten. Misalnya ketika makan siang gratis diperjuangkan habis-habisan membutuhkan dana yang besar. Tujuannya supaya memastikan kualitas hidup generasi muda sekarang. Tapi di saat yang sama ada ketidakjelasan soal tawaran beasiswa dan efisiensi anggaran yang kemudian memunculkan inkonsistensi dalam sikap pemerintah," lanjut Prof Bagong.
Ketidakjelasan dalam transparansi anggaran memunculkan spekulasi di masyarakat jika kondisi keuangan negara sedang bermasalah. Hal itu ditunjukkan dengan kebijakan pajak yang lebih besar kepada masyarakat.
"Publik berharap ada transparansi, alasan efisiensi harusnya ada kejelasan akan dipergunakan untuk apa. Sebagian masyarakat ini membaca ada indikasi masalah pada keuangan negara. Kesimpulan akhirnya mereka merasa sedang tidak baik-baik saja di nasional. Sehingga memutuskan kabur saja dulu mencari kehidupan di luar, pekerjaan di luar, masa depan di luar,"tuturnya.
Dorong Langkah Perbaikan dari Pemerintah
Di tengah keresahan publik, kemunculan tren #KaburAjaDulu menjadi refleksi kegundahan publik dan ekspresi ketidakpercayaan terhadap masa depan di dalam negeri. Namun, Prof. Bagong menilai kondisi di luar negeri pun tidak lebih mudah. Oleh karena itu, tren ini seharusnya tidak hanya dipandang sebagai dorongan untuk meninggalkan Indonesia, melainkan sebagai kritik dan masukan bagi pemerintah.
Prof Bagong menyarankan agar pemerintah lebih terbuka terhadap kritik publik dan segera mengambil langkah perbaikan. Salah satu bentuk respon yang dapat diambil adalah dengan melakukan reshuffle kabinet agar pemerintahan dapat berjalan lebih efektif. Selain itu, diperlukan komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat.
"Pemerintah harus menerima itu sebagai masukan dan kemudian memperbaiki diri. Misalnya dengan melakukan reshuffle kabinet karena memang keprihatinan itu jadi bagian dari pemerintahan yang tidak berjalan dengan baik. Ini kan kegundahan, wacana, dan diskursus. Jawabannya tentu dengan counter discourse yang bisa menenangkan hati masyarakat," pungkasnya.
(nir/nwk)