Beberapa waktu terakhir masyarakat Indonesia diramaikan dengan kebijakan terbaru pemerintah yakni iuran wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tapera dinilai menjadi solusi yang pas agar masyarakat bisa membeli rumah dengan cara menabung.
Bukan seakan menyelesaikan masalah, kebijakan ini mendapat kritik dari masyarakat. Menanggapinya, Ekonom Universitas Airlangga (Unair) Dr Ni Made Sukartini SE MSi MIDEC menceritakan awal mula kebijakan Tapera.
Menurutnya Tapera sudah diatur sejak lama pada UU Nomor 4 Tahun 2016. Namun, pada tahun 2024 kebijakan tersebut diperbarui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada tahun ini, kebijakan tersebut dilengkapi dan diperbarui kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020. Dasar-dasar hukum kebijakan itu telah terbentuk sejak UU Nomor 4 dikeluarkan pada tahun 2016," tuturnya dikutip dari rilis Unair Minggu, (2/6/2024).
Mengutip CNN karena ada pembaharuan, kebijakan Tapera kini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan tapera yang ditetapkan pada 20 Mei 2024 lalu.
Pekerja Formal vs Informal
Dalam aturan terbaru ini, dijelaskan Tapera adalah simpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu. Penyimpanan ini hanya bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kesepakatan berakhir.
Made menjelaskan, singkatnya Tapera ini bentuk tabungan bersifat memaksa dengan memangkas upah pekerja sebesar 3 persen. Namun, 2,5 persen dari besaran itu ditanggung pekerja dan 0,5 persen ditanggung perusahaan pemberi kerja.
Tapera disebut berlaku wajib bagi PNS, TNI, Polri, pekerja BUMN, swasta hingga pekerja mandiri sehingga dinilai Made bersifat 'memaksa'. Meskipun penuh kritik, Made menilai Tapera mungkin menjadi solusi.
Karena akan lebih cocok diterapkan pada kelompok pekerja formal dan pekerja yang diatur dalam hubungan industrial. Seperti PNS, TNI, Polri, pekerja BUMN, atau swasta.
Namun, kebijakan ini akan menyulitkan pekerja informal atau pekerja mandiri. Karena mereka memiliki sistem pembayaran upah yang tidak teratur.
Jumlah kelompok pekerja informal di Indonesia lebih banyak dibandingkan pekerja formal. Sehingga kebijakan Tapera perlu diperhatikan lebih lanjut dampaknya pada masa mendatang.
"Yang menjadi persoalan terletak pada adanya ketidaksinambungan hubungan pekerja informal. Perlu diketahui, bahwa jumlah kelompok pekerja informal lebih banyak dibanding pekerja formal di Indonesia. Hal ini berdampak pada ketidakseimbangan perlakuan pada kelompok pekerja di Indonesia," tuturnya.
Meski dinilai cocok untuk pekerja formal, Made menyatakan kebijakan Tapera sangat memaksakan masyarakat. Pekerja formal biasanya diisi dengan masyarakat kelas menengah yang memiliki sumber pendapatan pasti.
Baik dibayarkan setiap minggu atau bulan dan setara dengan Upah Minimum Regional (UMR). Penetapan UMR pada dasarnya telah mempertimbangkan secara matang dengan mengedepankan kelayakan kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan sewa tempat tinggal.
"Artinya, para masyarakat menengah tanpa dipaksa menabung melalui Tapera, kelompok itu mampu membeli rumah dengan menyesuaikan budget," tambahnya.
Kebijakan Tapera Perlu Dikaji Ulang
Meskipun begitu, Made mengakui langkah pemerintah untuk mengatasi sulitnya masyarakat membeli rumah sudah cukup baik. Namun, perlu dilakukan sosialisasi dengan baik terkait kebijakan ini.
"Baik dari menjamin sistem tata kelembagaan yang mengelola tabungan ini profesional, accountable dan transparan serta harus belajar dari kebijakan yang sejenis seperti dana pensiun, BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan," ungkapnya.
Adapun bila nanti akhirnya berjalan, Tapera harus diawasi dengan ketat. Jangan sampai, kebijakan ini malah jadi ladang bisnis perumahan dan harga rumah semakin tidak terjangkau.
Contohnya para pekerja formal dan kelas menengah yang memiliki Tapera dan sudah mampu memiliki rumah malah menjual rumah yang mereka beli. Sehingga siklus berbentuk seperti lingkaran setan.
Karena hal tersebut, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unair itu menegaskan bila Tapera tidak tepat sasaran. Diperlukan penataan aspek kelembagaan yang melengkapi sebuah kebijakan publik.
"Sebuah kebijakan dapat dikatakan tepat sasaran apabila yang ditargetkan menjadi penerima manfaat (beneficiary) terpenuhi. Artinya, dalam kebijakan Tapera harus melakukan pengkajian ulang untuk memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat," pungkasnya.
(det/nwy)