Indonesia menjadi negara pertama di Asia yang menjadi tuan rumah World Water Forum (WWF) ke-10 yang digelar di Bali pada 18-25 Mei 2024. Dalam acara ini, Indonesia memperkenalkan pentingnya kearifan lokal dalam proses pengelolaan air.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Hilmar Farid menjelaskan pengelolaan sumber air masa kini tidak cukup menggunakan sains dan teknologi modern.
Meski 3/4 bagian Bumi adalah air, nyatanya masih ada 2,2 milyar orang tidak memiliki akses air minum pada 2022. Hal tersebut berdasarkan data yang disampaikan oleh Dalam United Nation World Water Development Report 2024.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, ada 1,4 milyar orang terdampak kekeringan pada 2002-2021, dan 10% migrasi global antara 1970-2000 itu karena terkait kekurangan air. Berbagai permasalahan ini menurut Hilmar bisa timbul karena sains dan teknologi modern.
"Sains dan teknologi modern tidak cukup untuk menjawab berbagai masalah itu. Justru sebagian masalahnya timbul karena sains dan teknologi modern digunakan secara tidak bijak," ujar Hilmar dikutip dari rilis yang diterima detikEdu, Rabu (22/5/2024).
Tidak melulu soal teknologi modern, Indonesia memiliki kearifan lokal yang berpijak pada kelestarian dan keberlanjutan dalam hal mengelola air. Tentu tidak bisa berkembang dengan sendirinya, konsep ini bisa dikombinasikan dengan sain dan teknologi agar bisa memberikan solusi yang konkret.
"Kita memiliki khazanah pengetahuan lokal yang berpijak pada kelestarian dan keberlanjutan, yang jika dikombinasi dengan sains dan teknologi bisa memberikan solusi yang konkret," tambahnya.
Sejarah Kearifan Lokal RI dalam Kelola Air
Mengutip Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi Vol V Issue 1 tahun 2022 karya Annisa Weningtyas dan Endang Widuri, kearifan lokal merupakan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan keteladanan yang terdapat pada suatu lingkungan budaya.
Hal ini tampak dari berbagai pengetahuan dan pengalaman masyarakat berupa ajaran, nasihat, dan larangan. Dalam hal ini, kearifan lokal juga bisa dimaknai sebagai pengetahuan masyarakat untuk memecahkan masalah secara arif/bijaksana yang diselaraskan dengan hukum yang berlaku.
Berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal, berarti sumber daya alam termasuk air tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan. Selama proses pengelolaan harus mempertimbangkan dampak yang akan terjadi di masa mendatang.
Karena harus diselaraskan oleh hukum, pengelolaan air berbasis kearifan lokal mengalami jalan yang panjang terkait regulasi. Peraturan pertama yang mengatur tentang sumber daya air adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.
Sayangnya pada aturan awal itu, hak-hak masyarakat adat dalam mengatur air masih diakui secara terbatas. Selanjutnya, 30 tahun berlalu dikeluarkan peraturan baru melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Terbitnya peraturan baru ini juga membahas hak dan peran masyarakat dalam proses pengelolaan sumber daya air. Termasuk mengakui keberadaan hak ulayat atau hak penguasaan tertinggi dalam masyarakat adat atas sumber daya air.
Tetapi, pada 15 Oktober 2019 ditetapkan undang-undang baru tentang pengelolaan air yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air yang menjelaskan lebih rinci tentang asas kearifan lokal.
Hal tersebut tertera dalam Pasal 2 huruf (f), asas kearifan lokal dijelaskan bahwa dalam Pengelolaan Sumber Daya Air harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
Contoh Pengelolaan Air Berbasis Kearifan Lokal di RI
Dengan pengetahuan, kebiasaan, dan budaya lokal terkait pengelolaan air, masyarakat mewariskan secara turun-temurun hal ini untuk memanfaatkan sumber air setempat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka bersama-sama mengelola sumber daya tersebut dan hidup harmonis dengan alam sekitar.
Ada berbagai contoh-contoh pengelolaan sumber daya air yang berasas nilai kearifan lokal dan didasari oleh budaya, seperti:
1. Subak
Subak adalah kearifan masyarakat Bali yang mengatur pergiliran dan pembagian air serta peraturan pola tanam. Tidak ditetapkan secara individual oleh tetua, pengaturan pembagian air ini merupakan hasil musyawarah masyarakat.
Musyawarah ini didasarkan pada falsafah Tri Hita Karana dalam agama Hindu. Meliputi keharmonisan hubungan manusia dengan Pencipta (Parahyangan), hubungan manusia dengan alam sekitar (Palemahan) dan hubungan manusia dengan manusia (Pawongan).
Pengaturan perlu dilakukan agar semua masyarakat memiliki akses untuk mendapatkan air bersih sesuai dengan cara dan temapt yang telah disepakati bersama.
Ada dua cara dalam pengaturan subak, seperti wilayah subak yang dibagi menjadi dua kelompok sesuai musim dan cara dibagi melalui pola tanam pertanian. Subak diperkenalkan dalam diskusi WWF ke-10 di Bali oleh Pengelola Pura Ulun Danau Batur dan juga pengajar di Universitas Udayana, I Ketut Eriadi Ariana.
Ia menjelaskan sejarah dan perkembangan sistem subak di Bali yang merupakan sistem pengelolaan air yang sangat penting bagi orang Bali.
2. Lubuk Larangan
Lubuk Larangan menjadi kearifan lokal dari wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Jambi. Contohnya di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Lubuk Larangan merupakan kesepakatan lokal antar masyarakat dan pemuka untuk menjaga kelestarian dan kebersihan sungai.
Caranya dengan adanya larangan untuk mengambil ikan di luar waktu yang telah ditentukan dan disepakati bersama. Jika ditemukan pelanggaran maka ia akan dikenakan denda sebesar Rp 5 juta dan dialihkan untuk kas desa.
Di Jambi, aturan lubuk larangan dibuat dalam suatu musyawarah mufakat yang melibatkan kelompok adat, ulama, tuo tao cerdik pandai, pemuda dan pemerintah desa. Mereka melarang melakukan penangkapan ikan di kawasan daerah aliran sungai untuk menjaga kelestarian sungai dari pencemaran.
Selain itu tujuan lubuk larangan agar sumber air bersih tetap terjaga karena dipakai untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat sekitar. Jika ada yang melanggar, maka ia harus meminta maaf secara adat dan membayar denda berupa 1 ekor kambing, 20 gantung beras dan 4 kayu.
3. Mondau
Beralih ke dataran Sulawesi tepatnya Kabupaten Konawe, Sulawesi Tengah ada kearifan lokal bernama Mondau. Mondau adalah proses mengganti tanaman padi dengan tanaman tahunan ketika masa pembukaan lahan/tanah adat di kawasan hutan.
Hubungan dengan konservasi sumber daya air adalah penanaman tanaman tahunan seperti pohon dan buah akan sangat efektif dalam mengurangi erosi.
4. Ma'pesung dan Karama
Masih di Sulawesi tepatnya Tana Toraja, Sulawesi Selatan ada Ma'pesung di mana setiap sumber mata air akan menjadi tempat peribadatan. Sehingga area di sekitar sumber mata air harus dijaga keberadaannya.
Sedangkan Karama atau Romang Karamaka adala langkah perlindungan terhadap mata air. Caranya dengan larangan eksploitasi hutan karena bisa mengganggu sumber mata air.
5. Bekerase
Bekerase dapat ditemukan di wilayah Lombok Tengah yang berarti mengambil ikan tanpa menggunakan alat bantu pancing. Tradisi ini mengajak seluruh warga desa untuk berkumpul dan menangkap ikan bersama-sama.
Ikan disimbolkan sebagai perwujudan rezeki bahwa ikan yang berkembang biak di waduk, kolah atau embung memang dihajatkan untuk seluruh warga desa. Tradisi ini dilakukan pada akhir musim kemarau biasanya pada bulan Oktober ketika air di waduk mulai berkurang.
Tidak sekedar menangkap ikan, tradisi ini juga mengajak masyarakat untuk membersihkan dan merawat waduk dari sampah dan ganggang yang hadir karena musim hujan tahun sebelumnya. Hal ini agar pada musim penghujan berikutnya, waduk dalam keadaan bersih untuk menampung air yang akan dipergunakan masyarakat.
Dengan banyaknya kearifan lokal Indonesia dalam proses pengelolaan air, Wakil Direktur Jenderal UNESCO, Xing Qu menjelaskan pendekatan transdisipliner seperti ini sudah difasilitasi UNESCO dalam program Local and Indigenous Knowledge Systems (LINKS).
Xing Qu juga menyambut baik inisiatif dari Indonesia untuk meneruskan percakapan itu dengan berbagai pemangku kepentingan lokal.
(det/faz)