Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengingatkan dampak lanjutan kekeringan di Indonesia akibat El Nino dan IOD positif. Dampak kekeringan ini meliputi penurunan produksi tanaman pangan, lonjakan harga bahan pangan, kebakaran hutan dan lahan, dan turunnya jumlah produksi energi dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
El Nino adalah fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normal yang terjadi di Samudra Pasifik bagian tengah. Sedangkan IOD positif adalah dipol Samudra Hindia (Indian Ocean Dipole) atau perbedaan suhu permukaan laut di barat dan timur Samudra Hindia yang secara signifikan memengaruhi pola cuaca dan iklim sekitar, termasuk mengakibatkan kemarau makin kering di Indonesia.
Dwikorita mengatakan, pemerintah di seluruh tingkat diharapkan segera mengambil langkah mitigasi dan antisipasi pada dampaknya di berbagai sektor, termasuk pertanian, sumber daya air, kehutanan, perdagangan, energi, dan kesehatan.
"Hingga Oktober dasarian II, 2023, El Nino moderate (+1.719) dan IOD positif (+2.014) masih bertahan. BMKG dan beberapa Pusat Iklim Dunia memprediksi El Nino terus bertahan pada level moderat hingga periode Desember 2023-Januari-Februari 2024, sementara IOD Positif akan terus bertahan hingga akhir tahun 2023," kata Dwikorita dalam rapat bersama Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) RI baru-baru ini, dikutip Kamis (2/11/2022).
Dampak Kemarau Kering RI, Waspada Ya
Penurunan Produksi Tanaman Pangan
Dwikorita menjelaskan, kemarau kering di Indonesia mengancam produksi tanaman pangan. Sebab, siklus masa tanam menjadi terganggu, berisiko gagal panen, dan hama berisiko aktif menyebar pada kondisi tersebut.
Di samping itu, ada risiko jenis tanaman kurang tahan pada kondisi kemarau kering. Di sektor perdagangan, dampak di sektor pertanian ini memantik lonjakan harga bahan pangan.
Kurang Air untuk Pertanian hingga Energi
Kemarau kering juga mengakibatkan petani kekurangan sumber daya air. Dwikorita menambahkan, kekurangan sumber daya air juga menurunkan jumlah produksi energi yang bersumber dari PLTA.
"Sedangkan di sektor ketahanan meningkatkan risiko kesehatan berkaitan dengan sanitasi dan ketersediaan air bersih untuk dikonsumsi dan kebersihan," terangnya.
Kebakaran Hutan dan Lahan
Kondisi kemarau kering juga berisiko mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan. Jika terjadi karhutla, Dwikorita mengatakan, daerah tersebut akan mengalami polusi udara dan warganya berisiko terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
BMKG mencatat, Hari Tanpa Hujan (HTH) kategori Ekstrem Panjang dengan HTH lebih dari 60 hari terjadi di wilayah Lampung, Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Di Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Kalteng, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. HTH terpanjang tercatat selama 176 hari di Sumba Timur & Rote Ndao - NTT.
"Situasi ini harus menjadi perhatian kita bersama mengingat sebaran titik panas di Indonesia menunjukkan peningkatan terutama di daerah rawan karhutla. Pulau Kalimantan memiliki titik panas terbanyak dengan tingkat kepercayaan tinggi, diikuti oleh Sumatera bagian selatan, kepulauan Nusa Tenggara, dan Papua Selatan," jelas Dwikorita.
Strategi Mitigasi dan Antisipasi Kemarau Kering
Dwikorita menjelaskan, pemerintah dapat mengambil strategi manajemen air untuk memastikan pasokan air cukup untuk pertanian dan kebutuhan warga. Lebih lanjut, perlu penguatan penyebaran informasi pedoman bagi petani untuk memilih tanaman yang lebih tahan kekeringan dan beradaptasi dengan perubahan pola musim.
Penyuluhan dan pelatihan praktik pertanian yang lebih tahan kekeringan menurut Dwikorita juga perlu dilaksanakan pemerintah. Lalu, kuatkan pengelolaan hutan dan lahan agar tidak terjadi karhutla akibat cuaca kering. Di samping itu, rehabilitasi ekosistem dan restorasi lahan terdegradasi akibat kekeringan atau kebakaran juga harus dijalankan.
Ia menambahkan, rencana kesiapsiagaan logistik perlu disusun agar pasokan air bersih dan bahan makanan cukup, terutama di wilayah rentan. Pemerintah juga diminta melaksanakan kampanye kesadaran warga agar paham cara konservasi air dan mengurangi risiko bencana, serta melaksanakannya.
(twu/nah)