Kemendikbudristek telah memasuki babak baru dalam revitalisasi museum dan cagar budaya. Terbaru, pada Kamis (16/5/2024) malam, Indonesian Heritage Agency (IHA) resmi diluncurkan di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta.
IHA adalah badan layanan umum (BLU) yang akan bertanggung jawab atas pengelolaan 18 museum dan 34 cagar budaya nasional. Tujuan pembentukan BLU ini adalah menjadikan museum dan cagar budaya sebagai ruang kolaboratif terbuka yang memperkaya pengetahuan sejarah dan budaya.
Secara sederhana, IHA nantinya akan melakukan pendekatan konsep reimajinasi yang lebih relevan, baik dari sisi sosial maupun budaya. Konsep reimajinasi yang dimaksud mencakup tiga pilar utama, yaitu reprogramming (pemrograman ulang), redesigning (perancangan ulang), dan reinvigorating (penyegaran kembali).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengingat Yogyakarta adalah kota pelajar dengan lebih dari 600 ribu pelajar dan mahasiswa, Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, mengatakan bahwa pihaknya turut melakukan pendekatan ke anak-anak muda.
Misalnya untuk museum, ia menjelaskan akan langsung bertanya kepada anak-anak muda terutama mahasiswa, bahwa ketika mereka ke museum sebenarnya apa yang diharapkan.
"Pendekatan ke kampus ada dan yang pertama kita lakukan tanya sama mereka: 'mau lihat apa sih kalau ke museum'. Dan itu titik tolaknya harus selalu layanan itu dirasakan oleh publik," ucap Hilmar saat ditemui wartawan di Museum Benteng Vredeburg, Kamis (16/5/2024) malam.
Ajak Mahasiswa Jadi Kurator
Sebagaimana misi IHA ingin menjadikan museum dan cagar budaya sebagai ruang kolaboratif terbuka, Hilmar menuturkan hal ini bisa dilakukan secara langsung oleh publik, seperti berkolaborasi atau terlibat di museum.
"Publik yang kemudian ikut menentukan. Bahkan kita membuka peluang nih, mengajak mahasiswa, misalnya, menjadi kurator," tuturnya.
Kurator sendiri adalah orang yang karena kompetensi keahliannya bertanggung jawab dalam pengelolaan koleksi museum.
Hilmar melanjutkan, dengan adanya keterlibatan aktif, ia membayangkan akan juga percakapan antar sesama anak muda.
"Itu yang membuat museum yang sifatnya lebih interaktif. Saya kira nantinya akan menarik bagi anak-anak muda karena mereka berbicara kepada sesamanya. Kita tugasnya lebih banyak memfasilitasi agar percakapan semacam itu bisa terjadi," ucapnya.
"Oke, kalau kamu dikasih kesempatan memperlihatkan sesuatu kepada teman-temanmu, kira-kira apa yang akan kamu lakukan, itu ya," timpal Hilmar, mencontohkan saat bertemu anak muda yang ingin diajak kolaborasi.
Melalui IHA, Ingin Memfasilitasi Publik agar Bisa Berkarya Bersama
Kolaborasi dan keterlibatan publik ini dikatakan akan menjadi fokus agar museum dan cagar budaya memiliki wajah baru.
Menurut Hilmar, meski nantinya tidak secara langsung publik harus berperan di museum, tetapi ide-ide kolaboratif akan tetap diterima.
"Ya tentu gak semua (bakal) punya keahlian menata segala macam (di museum). Kita bantu, ya tetapi ide dasarnya mengenai apa yang akan dilakukan ya terserahkan saja, kita buka," tuturnya.
Langkah yang dilakukan bersamaan dengan IHA ini adalah pendekatan yang berbeda. Sebab, konsep yang dibangun ke depannya akan fokus untuk membangun ekosistem yang bisa berkarya bersama.
"Itu juga pendekatan yang sangat berbeda dengan museum-museum yang sebelumnya, ya. Saya kira teman-teman sering mengalami, ya, bagaimana museum serba nggak ngebolehin, nggak boleh ini nggak boleh itu. Semuanya kayak dibatasi ruang geraknya gitu," ungkap Hilmar.
"Nah, di sini kita justru ingin sebaliknya ya. Lebih terbuka, sama-sama bisa memaknai dan ya silakan berkarya bersama-sama gitu," pungkasnya.
(faz/nwk)