Ada yang unik dalam perayaan Ramadan di Gaza Palestina. Setiap tahunnya, terdapat turnamen sepak bola Ramadan untuk anak-anak hingga remaja.
Turnamen ini tak lagi sama bagi anak-anak di Gaza. Sebab, serangan brutal Israel telah menewaskan banyak kalangan mereka dan sisanya bertahan di pengungsian. Padahal, sepak bola Ramadan selama ini menjadi kegembiraan bagi anak-anak Gaza.
Salah satu remaja yang aktif mengikuti turnamen sepak bola Ramadan, Moath Raja Allah, kini menghabiskan Ramadan hanya di kamp pengungsi sementara di Klub Sepak Bola Al-Salah di Deir el-Balah, yang terletak di Jalur Gaza tengah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, sebelumnya, selama lebih dari enam tahun, ia dikenal sebagai salah satu pemain top di turnamen sepak bola Ramadan di Gaza.
Pemain berusia 19 tahun ini telah mengumpulkan 12 trofi dan penghargaan yang tak terhitung jumlahnya atas keahliannya.
"Turnamen (sepak bola) Ramadan tidak lagi sama. Mereka (anak-anak) tidak memiliki persaingan, semangat, dan atmosfer perayaan seperti tahun-tahun sebelumnya," kata Raja Allah kepada Al Jazeera, dikutip Kamis (28/3/2024).
"Terlebih lagi, kami sekarang hanya bermain demi paket bantuan makanan, bukannya trofi," imbuhnya.
Turnamen Sepak Bola sebagai Kegembiraan Anak-anak di Gaza
Meski dalam kondisi yang berbeda, turnamen sepak bola Ramadan tetap dilaksanakan. Klub Sepak Bola Al-Salah, menjadi tempat pertandingan sepak bola lima lawan lima selama bulan Ramadan.
"Dengan menyelenggarakan turnamen ini, kami mencoba menipu diri sendiri dan mengatakan ada kehidupan di Gaza," kata Nabeel Abu-Asr, direktur kegiatan olahraga klub tersebut.
Ia mengatakan bahwa kepada tim yang mendapatkan juara pertama dan kedua akan diberikan uang seadanya dan/atau paket bantuan makanan.
"Rasanya salah (dengan hadiahnya), tapi kami ingin memberi mereka kegembiraan," imbuhnya.
Rumah yang Hilang, Sekolah yang Hancur, dan Impian Sepak Bola yang Tersisa
Serangan brutal Israel sejak Oktober 2023 telah menghancurkan lebih dari 280 sekolah negeri dan 65 sekolah yang dikelola UNRWA, Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB.
Menurut laporan Kementerian Pendidikan Palestina, lebih dari 5.000 siswa terbunuh dan 620.000 lainnya belum bisa kembali sekolah.
Khalil Al-Kafarneh, remaja Gaza berusia 16 tahun, telah mengalami beberapa kali perpindahan sejak Oktober. Kesepuluh anggota keluarganya meninggalkan rumah mereka di Beit Hanoon, yang terletak di utara Gaza.
Selama tiga bulan ini, kamp di Klub Sepak Bola Al-Salah telah menjadi rumah mereka. Di sana, mereka berjuang untuk bertahan hidup, dengan terbatasnya persediaan makanan dan air bersih.
Remaja lain, Al-Kafarneh mengatakan bahwa dirinya telah bermain sepak bola selama 10 tahun. Kondisi saat ini telah menghilangkan sifat atletis dan keterampilannya.
"Saya jarang menendang bola sekarang. Saya seorang siswa SMA namun belum dapat melanjutkan studi. Rumah saya adalah tumpukan puing. Tidak ada yang tersisa," tuturnya.
Sementara itu, anak berusia tujuh tahun bernama Nadeen Isa telah bertahan hidup dengan makanan kaleng sejak awal serangan Israel ke Gaza.
Namun ambisi Nadeen tetap tidak terpatahkan. Ia ingin bermain sepak bola menjadi seorang striker dan menjadi perawat.
"Saya bermimpi menjadi perawat dan striker," ucapnya.
"Saya berharap saya dilahirkan di negara lain, sehingga saya bisa bermain dan belajar seperti anak lainnya. Saya merindukan teman-teman sekolah saya, rumah saya dan duduk di bawah atapnya," pungkas Nadeen.
(faz/pal)