Seluruh sekolah di Gaza, Palestina telah ditutup sejak serangan brutal dilakukan Israel pada Oktober 2023. Laporan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB (UNRWA) menyebut, sekolah yang hancur atau rusak telah mencapai 345 dan membuat 625.000 siswa berhenti belajar di sekolah.
Kementerian Pendidikan Palestina pernah merencanakan untuk meluncurkan e-learning bagi siswa sekolah Gaza. Pengajaran tersebut akan diberikan dari Tepi Barat yang diduduki.
Namun, model e-learning ternyata sulit diterapkan di Gaza. Sebab, pemadaman telekomunikasi sering terjadi. Di sisi lain, siswa dan guru tidak memiliki akses terhadap listrik dan internet yang stabil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak mungkin ada e-learning. Tidak ada tempat berlindung, tidak ada internet, dan tidak ada kondisi yang sesuai," kata Amer, seorang guru sains dari Gaza, dikutip dari Al Jazeera.
Meski sekolah hancur dan sistem pembelajaran sulit dilakukan, guru dan para pegiat pendidikan tak menyerah begitu saja. Mereka terus melakukan cara agar anak-anak tetap bisa belajar.
Terbukti pada akhir Februari 2024 lalu, guru-guru mulai mendirikan sekolah tenda di Gaza untuk menjaga anak-anak Palestina tetap belajar di tengah kehancuran kota dan serangan Israel yang belum sepenuhnya berhenti.
Tetap Belajar di Tengah Kota yang Hancur
Salah satu guru bahasa Inggris di Palestina, Asmaa Ramadan Mustafa, mengatakan bahwa kondisi Gaza saat ini telah mengubah persepsinya.
Mulanya saat baru menjadi guru, ia berpikir bahwa belajar adalah metode yang mengikuti sistem pendidikan sekolah, di ruang kelas, dan kurikulumnya disusun oleh guru.
"Namun apa yang terjadi di Jalur Gaza telah mengubah keyakinan saya tentang hal itu," ucapnya dalam New Arab, dikutip Jumat (8/3/2024).
Saat ini, Asmaa mengatakan bahwa semua orang di Gaza, baik anak-anak hingga orang tua harus belajar meski di sekolah perang.
"Di sini, setiap hari, seribu cerita diceritakan, dijalani, didengar, diajarkan, dan ditulis, seperti seribu luka berdarah. Dari luka kami yang dalam, kami telah belajar, dan kami masih terus belajar, dan kami akan mempelajari apa yang belum dipelajari oleh seluruh dunia," tutur wanita yang sudah menjadi guru selama enam belas tahun.
Anak-anak di Gaza Telah Dipaksa Menjadi Manusia yang Adaptif
Dengan segala kepiluan yang dialami masyarakat Gaza, Asmaa mengatakan bahwa hal itu telah membuat banyak orang memiliki keahlian dalam menciptakan jalan hidup alternatif.
Termasuk tempat tinggal yang berpindah-pindah hingga tempat belajar anak-anak yang seadanya.
"Terkadang Anda dapat menemukannya di istana mewah, terkadang di tempat penampungan, dan terkadang di tenda pengungsian yang paling sulit dan kejam," kata guru bahasa Inggris yang pernah dianugerahi gelar 'Global Teacher of the Year 2020 oleh AKS Education Award Foundation di India.
Menurut Asmaa, perang telah memaksa lebih dari dua juta tiga ratus ribu warga Palestina di Gaza untuk belajar secara berbeda.
Mereka belajar melalui pengalaman, penemuan, dan mempraktikkan apa yang tidak pernah bisa diajarkan sekolah kepada mereka. Selain itu, mereka juga belajar dari apa yang tidak pernah bisa dibaca dalam buku pelajaran, termasuk ekstrakurikuler.
Keahlian Baru yang Dimiliki Anak Muda Palestina
Faktanya, kondisi di Jalur Gaza, membuat anak-anak banyak menemukan keahlian sesuai dengan keadaan yang mereka hadapi dan saksikan.
Ada anak-anak yang berspesialisasi dalam analisis politik sejak usia muda. Bahkan mereka tahu bahasa negara dalam politik apa yang sedang dibahas.
"Mereka pandai mendengarkan orang yang lebih tua dalam sesi diskusi mereka di koridor pusat penampungan dan di dalam ruang kelas, yang kini menampung ratusan ribu orang," ucap Asmaa.
Asmaa juga menuturkan bahwa kehidupan telah menjadikan perempuan di Gaza sebagai singa betina, anak-anaknya menjadi pahlawan yang penuh keberanian.
"Perang telah mengajarkan kita bagaimana mempertahankan hidup kita di depan tank, di bawah pesawat tempur, di luar rumah yang hancur, dan di tengah jalan-jalan Gaza yang porak poranda," tutur guru yang bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina sejak tahun 2008.
"Hal ini juga mengajarkan kita bagaimana melarikan diri bersama anak-anak kita ke pantai yang aman, dengan selalu percaya bahwa Tuhan adalah pelindung terbaik," pungkasnya.
(faz/nah)