Ratusan sekolah di Palestina telah hancur akibat serangan brutal militer Israel. Lebih dari 5.000 siswa terbunuh dan 620.000 lainnya belum bisa kembali sekolah, menurut laporan Kementerian Pendidikan Palestina.
Menurut laporan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB (UNRWA), lebih dari 40 persen sekolah (288) di Gaza dikelola oleh UNRWA dan sisanya dioperasikan langsung oleh Otoritas Palestina atau dikelola swasta.
Saat ini, semua sekolah tersebut ditutup karena lebih dari 85 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza telah mengungsi di tengah serangan darat dan udara Israel yang brutal dan telah menewaskan lebih dari 25.000 orang, termasuk 10.000 anak-anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut data UNRWA tahun 2018, Gaza setidaknya memiliki 737 sekolah dan 9.367 guru bekerja di 288 sekolah UNRWA tersebut.
Anak-anak Berhenti Sekolah Sejak November 2023
Dikutip dari Al Jazeera, siswa Gaza tidak ada yang bisa bersekolah sejak 6 November 2023. Saat itu Kementerian Pendidikan menangguhkan tahun ajaran 2023-2024 karena serangan Israel yang menyebabkan kawasan permukiman menjadi sasaran sembarangan, termasuk perkantoran dan sekolah.
Data menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 625.000 siswa dan lebih dari 22.500 guru di Gaza. Kemudian, untuk sekolah yang hancur atau rusak telah mencapai 280 sekolah negeri dan 65 sekolah yang dikelola UNRWA.
Direktur Save the Children untuk Palestina, Jason Lee, mengatakan bahwa serangan terhadap infrastruktur sipil, termasuk sekolah dan rumah sakit tempat anak-anak mencari perlindungan, merupakan tindakan yang sangat tidak masuk akal.
Belum Ada Kepastian Kapan Siswa Kembali ke Sekolah
Serangan Israel yang tak kunjung berhenti membuat siswa tidak memiliki kepastian kapan akan kembali ke sekolah. Hal ini bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk memperbaiki seluruh gedung sekolah yang rusak.
Kementerian Pendidikan Palestina memiliki rencana untuk meluncurkan e-learning untuk siswa sekolah Gaza. Pengajaran tersebut akan diberikan dari Tepi Barat yang diduduki.
Namun, model e-learning akan sulit diterapkan di Gaza. Hal ini karena pemadaman telekomunikasi sering terjadi. Di sisi lain, siswa dan guru tidak memiliki akses terhadap listrik dan internet yang stabil.
Hal ini belum termasuk faktor terkait sebagian besar orang terpaksa meninggalkan rumah mereka dan berlindung di kamp pengungsian.
"Tidak mungkin ada e-learning. Tidak ada tempat berlindung, tidak ada internet, dan tidak ada kondisi yang sesuai," kata Amer, guru sains dari Gaza.
Anak-anak Gaza Berbicara Cita-cita
Meski belum ada kepastian kapan akan kembali bersekolah, anak-anak gaza masih memiliki semangat dalam menggapai cita-cita. Hal ini terungkap ketika beberapa anak di Gaza mengungkapkan apa yang ingin mereka lakukan ketika dewasa.
Berikut beberapa ungkapan anak-anak di Gaza tentang cita-cita mereka sebagaimana dikutip dari CBS News.
Seorang reporter bertanya, "Kamu ingin jadi apa saat besar nanti?"
Kemudian, enak anak-anak di Gaza menjawabnya:
"Nama saya Shayma Hamad dan impian saya adalah menjadi seorang guru."
"Nama saya Bana, saya ingin menjadi jurnalis."
"Nama saya Tala, cita-cita saya menjadi insinyur."
"Nama saya Meriam, saya bercita-cita menjadi dokter di masa depan."
"Saya Khaled El-Bayed, impian saya adalah menjadi seorang dokter."
"Nama saya Mohammad El-Dawer, impian saya adalah menjadi seorang pengusaha."
(faz/pal)