Belakangan ini, kebocoran data marak terjadi di Tanah Air. Pasalnya, seorang hacker anonim Bjorka berhasil membobol miliaran data penduduk Indonesia.
Bukan hanya masyarakat biasa, Bjorka juga membocorkan data-data pribadi sejumlah petinggi negara dan menyebarkannya di media sosial. Berkaitan dengan itu, Dr. Suko Widodo Drs. M.Si selaku dosen Komunikasi dari Universitas Airlangga (Unair) turut memberikan tanggapan.
Dikutip dari laman resmi Unair, pada Kamis (15/9/2022), Suko mengatakan bahwa kebocoran data menyebabkan risiko kerugian bagi siapa saja yang mengalaminya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebocoran Data Sebabkan Risiko Kerugian
Pakar Komunikasi dari Unair itu mengatakan, kerugian yang dihasilkan dari bocornya data pribadi yaitu penyalahgunaan untuk transaksi ilegal, seperti pinjaman online tanpa sepengetahuan pribadi.
Selain itu, Suko juga menambahkan bahwa data-data tersebut juga dapat disalahgunakan untuk motif-motif khusus. Misalnya berkaitan dengan kepentingan pribadi, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.
"Seperti kasus Trump itu, direkayasa sosial dengan motivasi macam-macam seperti ekonomi, gagah-gagahan, bahkan politik, dan macam-macam 'kan," jelasnya.
Lebih lanjut Suko juga menjelaskan untuk mengatasi kasus kebocoran data (https://www.detik.com/tag/kebocoran-data) tidaklah mudah. Namun, bukan berarti itu menjadi suatu hal yang mustahil dilakukan.
Tips Mitigasi Mengatasi Kebocoran Data
Menurut Suko, upaya mitigasi harus dilakukan dalam mengatasi kebocoran data. Apa saja tipsnya itu? Berikut penjabarannya.
1. Pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi tentang pentingnya keamanan data masyarakat.
2. Pemerintah perlu memberi peringatan pada masyarakat terkait pentingnya data dan dapat menimbulkan kerugian apabila tersebar luas.
3. Pemerintah perlu meningkatkan literasi digital masyarakat, terlebih tingkat literasi digital Indonesia masih minim.
4. Masyarakat harus memiliki kesadaran untuk menentukan hal-hal mana saja yang bisa diunggah di internet.
Suko menjelaskan bahwa salah satu kunci keamanan data adalah kesadaran diri sendiri. Jadi, tidak hanya peran pemerintah yang dibutuhkan dalam upaya mitigasi, tetapi juga kesadaran dari masyarakat itu sendiri.
"Jadi kita harus hati-hati di dunia baru ini ya. Karena ternyata yang maya bisa jadi nyata, yang nyata bisa jadi maya. Pesan saya, ketahuilah apa yang Anda upload atau sampaikan di internet. Dan yang paling penting, ketahui juga apa-apa yang tidak boleh disampaikan di media sosial," pungkas dosen Komunikasi Unair tersebut.
(nwy/nwy)