Kisah Rayhan, Mahasiswa Tunanetra Wisudawan Terbaik Ilmu Hukum UIN Jakarta

ADVERTISEMENT

Kisah Rayhan, Mahasiswa Tunanetra Wisudawan Terbaik Ilmu Hukum UIN Jakarta

Trisna Wulandari - detikEdu
Kamis, 09 Jun 2022 08:00 WIB
Rayhan Naufaldi Hidayat, mahasiswa tunanetra jadi Wisudawan Terbaik Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta di wisuda ke-124.
Dengan IPK 3.94, Rayhan Naufaldi Hidayat, mahasiswa tunanetra yang lulus sebagai Wisudawan Terbaik Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta di wisuda ke-124. Foto: Dok. Rayhan Naufaldi Hidayat
Jakarta -

Rayhan Naufaldi Hidayat lulus dengan IPK 3.94 sebagai Wisudawan Terbaik tingkat Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia merampungkan studi dengan skripsi yang berjudul Pemanfaatan Alat Bantu Coblos bagi Tunanetra dalam Pemilihan Umum Serentak 2019 di Jakarta Selatan. Bagaimana kisah mahasiswa tunanetra ini sekolah di sekolah umum, kuliah di UIN Jakarta, hingga menjadi lulusan terbaik?

Kelahiran Surabaya, 9 Januari 2000 ini menuturkan, ia semula adalah orang awas, istilah bagi orang yang bisa melihat. Di kelas 6 SD, saat sibuk persiapan Ujian Nasional (UN), bimbingan belajar (bimbel), dan futsal, ia terkena tipes dan Guillain-Barre Syndrome (GBS). Penyakit langka ini mengganggu sistem imun Rayhan dan menyerang saraf.

Sindrom GBS di antaranya membuat Rayhan sempat lumpuh dan kelak harus diterapi selama 6 bulan sambil menempuh awal kelas 7 di Madrasah Pembangunan, Tangerang Selatan. Ketika sudah bisa kembali berjalan, saraf penglihatannya mengecil, sehingga ia mengalami buta total.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rayhan mengatakan, kendati orang tuanya menawari untuk istirahat studi sementara, ia yang masih di kelas 6 SD menolak karena tidak ingin jadi adik kelas teman-temannya. Baginya, ini salah satu momen yang membentuk mentalnya hingga kini.

Agar tetap bisa belajar, sambungnya, ia mulai belajar huruf braille dan bergabung dengan Yayasan Mitra Netra saat SD. Di samping membaca dengan huruf braille, Rayhan juga menggunakan teknologi dan bantuan teman serta gurunya agar dapat bersekolah di sekolah umum.

ADVERTISEMENT

"Aku kurang cocok, lama banget bacanya, hehe. Masih bisa sampai sekarang, jadi tetep sambil baca-baca (pakai huruf Braille) kalau lagi mau. Tapi kalau kuliah dan sekolah di sekolah umum, pakai teknologi dan bantuan teman jadi bisa sama sistem (belajar)nya sama mereka (orang awas). Jadi mereka berjalan kita berlari (dengan teknologi dan bantuan teman)" kata Rayhan pada detikEdu, Rabu (8/6/2022).

Siswa Tunanetra di Sekolah Umum

Rayhan mengatakan, berbekal keyakinan dan tidak ragu, ia mencoba lanjut pendidikan ke MTs dan MA di Madrasah Pembangunan (MP) yang notabene sekolah umum. Kendati tahu akan lebih sulit mengikuti pelajaran ketimbang di lingkungan SLB, ia mencoba beradaptasi.

Rupanya, buku sekolah digital cukup banyak tersedia untuk dibaca dengan aplikasi screen reader. Di samping mendengar audio buku sekolah, sambungnya, Rayhan juga kadang dibacakan materi pelajaran oleh gurunya di ruang BK.

"Masuk (Ilmu) Hukum UIN (Jakarta) itu, karena pas aku SMA di MP, nggak tahu kenapa aku paling seneng PKN. Jadi PKN itu dibacain, di ruang BK. Entah kenapa abis ujian, diskusi sama gurunya itu sampe 3 jam, ngomongin politik, kenegaraan, seru berjam-jam, keluar ruangan (sekolah) udah sepi," kata penyuka program ILC tersebut sambil tertawa.

Berangkat dari minat dan diskusi dengan orang tua, Rayhan memantapkan diri memilih prodi Ilmu Hukum ketimbang Ilmu Politik di jalur SNMPTN pada pilihan UIN Jakarta. Di UIN Jakarta, ia mendapati prodi Ilmu Hukum punya konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara yang diminatinya. Kelak, ia diterima di kampus ini. (detik.com/tag/uin-jakarta)

"Pas kudalami di kuliah, untung aku ambil ilmu hukum, karena ilmu politik lebih ke seni meraih kekuasaan, sementara hukum itu lebih ke seni bagaimana kekuasaan berjalan dengan norma, etika, dan moral," katanya.

Selanjutnya kisah Rayhan beradaptasi di kuliah di UIN Jakarta >>>

Beradaptasi di Lingkungan Kuliah

Rayhan menuturkan, ia dan orang tuanya juga berdiskusi sistem belajar dan metode yang tepat saat memasuki perkuliahan. Kendati harus mempelajari banyak buku hukum tata negara yang tidak jarang tebal, ia mengaku tidak terbebani menekuni pelajaran karena menyenangi ilmunya. Ia bercerita, sepulang kuliah, ia mendalami lagi materi yang diajarkan dosen dan menulisnya.

"Karena masih nyari pola (belajar), pas semester 1 itu IP-ku 3.76, masih ada beberapa yang B," tuturnya.

Di kampus, ia mengaku bersyukur terbantu lingkungan sosial UIN Jakarta. Setelah menghadap Dekan, para dosen juga mengakomodasinya sebagai mahasiswa tunanetra. "Mulus, namun jika ada dosen yang lupa itu wajar," tuturnya.

Contoh, saat ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS), ia sesekali masih diwajibkan ujian tertulis alih-alih mengetik di laptop. Jika ujian dengan laptop, Rayhan bisa mengetik sendiri dengan kefasihannya menghafal susunan keyboard tanpa melihat. Di situlah Rayhan mengaku bersyukur ada saja teman yang berjiwa sosial tinggi dan mau membantunya menuliskan jawaban ujian.

Tantangan lainnya, Rayhan mendapati buku digital ilmu hukum jauh lebih sulit ditemukan ketimbang buku teks sekolah. Untuk melengkapi keterbatasan sumber belajar, ia harus minta tolong dibacakan teman atau kakak kelasnya.

"Alhamdulillah dibantu Kak Sheren, Kak Nada, dan Kak Shafa (kakak kelas). Akan memudahkan kalau ada semacam relawan-relawan begitu yang bisa membacakan materi untuk tunanetra. Berkumpul di perpustakaan, contohnya. Kalau saat ini minta tolongnya japri," kata Rayhan.

"Teman itu saling, welcome banget, nggak ngejauhin, ngejahilin, kertas ujian ditulisin, alhamdulillah," imbuhnya.

Selanjutnya kisah Rayhan menulis karya tulis ilmiah di jurnal bereputasi dan terakreditasi SINTA>>>

Menulis Karya Tulis Ilmiah di Jurnal

"Kadang dosenku bilang, ilmu nggak akan nempel kalau nggak butuh. Akhirnya itu triknya, aku buat itu jadi kebutuhan, aku tulis jurnal, jadi butuh ilmu tentang itu, jadi harus mendalami terus," kata Rayhan yang berencana lanjut S2 Hukum.

Karya tulis ilmiah Rayhan bersama temannya kini sudah terbit di jurnal bereputasi dan terakreditasi SINTA. Sejumlah karya tulis ilmiahnya terbit di Jurnal 'Adalah (Jurnal Hukum dan Keadilan) terbitan Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional (Poskolegnas) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta (2020), Jurnal Al-Adl (Jurnal Hukum) terbitan Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan, Jurnal Legal Brief terbitan Ihsa Institute (Institut Hukum Sumberdaya Alam) Sumatera Utara (2022), dan Jurnal Salam (2021). Yang terakhir merupakan hasil kompetisi karya tulis ilmiah di Diponegoro Law Fair.

"Aku suka ikut kompetisi, tapi enggak pernah menang. Jadi daripada jadi onggokan kertas saja di fakultas, enggak dibaca, lebih baik diterbitkan di jurnal," tuturnya tertawa.

Rayhan bercerita, ia aktif di Moot Court Community (MCC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di samping menjadi pengurus Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) FSH. Dari konsentrasi MCC di bidang debat hukum, sidang semu, dan karya tulis ilmiah, ia mantap memilih yang terakhir. Dengan cara ini, menurutnya, ia bisa mendalami ilmu hukum lebih jauh.

Bagaimana detikers, mau jadi wisudawan terbaik juga seperti Rayhan? Lancar ya, studinya!


Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads