Beradaptasi di Lingkungan Kuliah
Rayhan menuturkan, ia dan orang tuanya juga berdiskusi sistem belajar dan metode yang tepat saat memasuki perkuliahan. Kendati harus mempelajari banyak buku hukum tata negara yang tidak jarang tebal, ia mengaku tidak terbebani menekuni pelajaran karena menyenangi ilmunya. Ia bercerita, sepulang kuliah, ia mendalami lagi materi yang diajarkan dosen dan menulisnya.
"Karena masih nyari pola (belajar), pas semester 1 itu IP-ku 3.76, masih ada beberapa yang B," tuturnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di kampus, ia mengaku bersyukur terbantu lingkungan sosial UIN Jakarta. Setelah menghadap Dekan, para dosen juga mengakomodasinya sebagai mahasiswa tunanetra. "Mulus, namun jika ada dosen yang lupa itu wajar," tuturnya.
Contoh, saat ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS), ia sesekali masih diwajibkan ujian tertulis alih-alih mengetik di laptop. Jika ujian dengan laptop, Rayhan bisa mengetik sendiri dengan kefasihannya menghafal susunan keyboard tanpa melihat. Di situlah Rayhan mengaku bersyukur ada saja teman yang berjiwa sosial tinggi dan mau membantunya menuliskan jawaban ujian.
Tantangan lainnya, Rayhan mendapati buku digital ilmu hukum jauh lebih sulit ditemukan ketimbang buku teks sekolah. Untuk melengkapi keterbatasan sumber belajar, ia harus minta tolong dibacakan teman atau kakak kelasnya.
"Alhamdulillah dibantu Kak Sheren, Kak Nada, dan Kak Shafa (kakak kelas). Akan memudahkan kalau ada semacam relawan-relawan begitu yang bisa membacakan materi untuk tunanetra. Berkumpul di perpustakaan, contohnya. Kalau saat ini minta tolongnya japri," kata Rayhan.
"Teman itu saling, welcome banget, nggak ngejauhin, ngejahilin, kertas ujian ditulisin, alhamdulillah," imbuhnya.
Selanjutnya kisah Rayhan menulis karya tulis ilmiah di jurnal bereputasi dan terakreditasi SINTA>>>