Permata Ibu Pertiwi dan Impian Azwan untuk Anak Pekerja Migran di Malaysia

ADVERTISEMENT

Permata Ibu Pertiwi dan Impian Azwan untuk Anak Pekerja Migran di Malaysia

Kristina - detikEdu
Minggu, 05 Jun 2022 16:00 WIB
Azwan, anak eks PMI di kebun sawit Sabah Malaysia.
Azwan, anak PMI di perkebunan sawit Malaysia saat kuliah di UNY. Foto: Dok Azwan
Jakarta -

Malam itu usia Azwan, anak eks Pekerja Migran Indonesia (PMI) di perkebunan kelapa sawit Malaysia, menginjak angka 18 tahun. Pikirannya tertuju pada apa yang bisa ia lakukan untuk membantu anak-anak perkebunan sawit lainnya agar berani memutus siklus buruh sawit.

Azwan berasal dari keluarga perantau. Orang tua dan saudara-saudaranya bekerja sebagai PMI--dulu namanya TKI--di perkebunan sawit yang ada di Sabah, Malaysia. Ia lahir dan besar di tengah ladang sawit yang panas dan berdampingan dengan binatang buas.

Pendidikan menjadi urusan belakangan bagi para PMI. Sebab, keterbatasan ekonomi membuatnya mau tidak mau lebih mengutamakan pekerjaan untuk menopang keberlangsungan hidupnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dulu tidak ada sekolah untuk anak buruh sawit. Pusat kegiatan belajar masyarakat baru dibangun sekitar tahun 2008. Itu pun mindset orang tua belum sepenuhnya mengarah akan pentingnya pendidikan.

Azwan dan teman-teman sebayanya tidak menempuh pendidikan SD. Mereka yang mau sekolah di pusat kegiatan belajar masyarakat yang bernama Community Learning Center (CLC) harus mengikuti ujian paket A.

ADVERTISEMENT

CLC tidak dibangun di semua ladang sawit. Selain repotnya mengurus izin ke perusahaan pemilik lahan yang bersangkutan, juga jumlah siswa tidak memenuhi syarat untuk dibangun sekolah setara SMP yang menginduk pada Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) itu.

Sebagai alternatif dibangunlah Tempat Kegiatan Belajar (TKB) di ladang-ladang sawit. TKB tempat Azwan menuntut ilmu bernama TKB Genting Sekong, lingkup yang lebih kecil dari CLC SMPT 45 Pontian Hillco.

Hanya ada sepetak ruang ukuran 3x2 meter yang menjadi tempat Azwan dan sekitar 20 temannya belajar. Dinding dan lantainya serba kayu. Mereka duduk berlesehan beralaskan karpet untuk melapisi lantai kayu. Ada meja panjang yang mereka gunakan untuk menulis dan meletakkan buku.

Dari sekitar 400 lulusan CLC angkatan Azwan di Kota Kinabalu, hanya sekitar 20 anak yang melanjutkan ke jenjang SMA. Salah satunya Azwan. Beruntung orang tuanya mendukung penuh agar anak bungsunya itu bisa sekolah dan memperbaiki kehidupan keluarganya.

"Wan, sekolahlah, karena cukup bapak dan mamakmu yang bodoh jangan kamu," ucap Azwan menirukan kata-kata orang tuanya. Pesan inilah yang memacu semangat Azwan untuk terus belajar dan berkarya agar bisa memperbaiki kehidupan keluarganya. Begitu cerita Azwan kepada detikcom beberapa waktu lalu.

Singkat cerita Azwan akhirnya pulang ke tanah leluhurnya di Polewali Mandar, Sulawesi Barat untuk menempuh pendidikan di SMKN 1 Polewali. Meskipun harus melewati masa yang sulit karena harus tinggal sendiri dan harus menyesuaikan dengan kultur setempat, hal itu tidak menyurutkan semangat Azwan untuk menuntut ilmu.

Walaupun sering mendengar kata-kata yang tidak enak di telinga, ia tetap pasang badan dan fokus pada tujuan utamanya. Keadaan pun berubah ketika ia menjadi ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Cibiran berubah menjadi pujian dan berbagai apresiasi.

Azwan memang terkenal rajin dan aktif dalam berbagai kegiatan maupun kompetisi, serta meraih sejumlah medali. Ia bahkan masuk top 100 ketua OSIS terbaik se-Indonesia dan juga berkesempatan duduk di parlemen melalui kegiatan Parlemen Remaja yang diselenggarakan oleh Sekretariat Jenderal DPR RI.

Jalan meraih pendidikan tak hanya berhenti sampai di situ. Azwan bertekad bulat untuk kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Meskipun sempat gagal di beberapa jalur masuk, Azwan akhirnya lolos melalui jalur mandiri. Itupun dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tinggi untuk ukurannya.

"Untungnya orang tuaku punya mindset yang sudah matang lah. Dalam artian walaupun mereka nggak sekolah mereka sadar kalau pendidikan itu penting. Akhirnya mereka walaupun dicibir ya tetap memberangkatkan saya (ke Yogyakarta)," kenang Azwan.

Sempat tiga kali gagal mendapatkan beasiswa Bidikmisi dan tidak lolos juga dalam seleksi beasiswa PPA (Pendamping Prestasi Akademik), akhirnya Azwan mendapatkan Beasiswa Unggulan dari Kemendikbudristek tepat di semester 3 hingga ia lulus kuliah.

Selama kuliah Azwan aktif di berbagai kegiatan dan menorehkan banyak prestasi baik nasional maupun internasional. Ia selalu meng-update aktivitasnya di media sosial Facebook.

Hal itu ia lakukan dengan niat agar membuka mata adik-adiknya yang di perkebunan sawit Malaysia, bahwa mereka juga bisa mendapatkan pendidikan yang layak dan berkarya seperti Azwan dan masyarakat kota pada umumnya.

"Kadang ada yang menilai itu sombong ya, tapi bagi saya itu tergantung nawaitunya saya. Kalau niat saya itu berbagi untuk memberikan inspirasi agar mau tergerak hatinya mau sekolah itu," tutur Azwan.

Selanjutnya Azwan merintis komunitas untuk menaungi anak PMI>>>

Merintis Komunitas Permata Ibu Pertiwi yang Menaungi Anak PMI

Pada 2018, Azwan mulai ikut dalam kegiatan Yayasan Pendidikan Sabah Bridge (YPSB), sebuah yayasan non profit yang bergerak dalam bidang pendidikan untuk membantu anak-anak PMI agar bisa sekolah di Indonesia. Sabah Bridge atau SB digagas oleh salah satu guru yang dikirim dari Indonesia ke Sabah untuk mengajar anak-anak di perkebunan sawit.

Kebetulan saat kuliah Azwan berkesempatan mengajar Karya Ilmiah Remaja (KIR) di MAN 4 Bantul, Yogyakarta. Ia pun mulai membangun relasi di sana dan menceritakan kondisi anak-anak PMI di Sabah. Akhirnya ia mendapat slot beasiswa sekolah gratis di MAN 4 Bantul untuk empat anak PMI.

Dari situlah Azwan mulai merancang sebuah komunitas untuk mewadahi anak-anak PMI yang kelak sekolah di Indonesia. Tahun 2019, tepat di usianya yang ke-18, Azwan memikirkan kira-kira apa nama komunitas yang akan ia bangun. Akhirnya tercetus nama Permata Ibu Pertiwi (PIP).

Nama Permata Ibu Pertiwi ia peroleh dari hasil diskusi dengan inisiator Sabah Bridge, Aris Prima. Azwan bercerita kalau dulu tidak ada guru yang membantu mengurus pendidikan saat SMK, berbeda dengan sekarang yang sudah dibantu oleh Sabah Bridge.

"Hingga pada akhirnya Pak Aris Prima itu bilang begini, 'Walaupun nggak ada yang urus kamu, yang namanya permata dilempar di lumpur pun akan tetap jadi permata'. Nah, muncullah idenya aku namanya komunitas Permata Ibu Pertiwi," cerita Azwan.

Azwan beranggapan bahwa semua anak-anak PMI dan semua anak-anak Indonesia adalah permata. "Kita ini adalah permatanya Indonesia dan Indonesia itu adalah pengganti dari kata Ibu Pertiwi. Lahirlah namanya Permata Ibu Pertiwi," imbuhnya.

Awal komunitas tersebut bergerak, hanya Azwan yang mengurusnya. Mulai dari membuat desain logo hingga menyusun proker ia lakukan sendiri. Sebab, belum ada anak PMI yang bisa ditarik masuk ke komunitas tersebut.

Berkat niat mulia dan ketekunannya, saat ini PIP sudah berusia tiga tahun dan mewadahi lebih dari 100 anak PMI yang sekolah di Indonesia. Tak sedikit anak-anak PMI yang masuk dalam PIP ini berhasil menorehkan prestasi, seperti halnya yang dilakukan Azwan dulu.

Azwan (tengah baju batik) dan anak-anak PMI yang hendak sekolah di Indonesia.Azwan (tengah baju batik) dan anak-anak PMI yang sekolah di Indonesia. Foto: Dok Azwan

Azwan masih memiliki impian besar terhadap anak-anak PMI yang orang tuanya bekerja di kebun sawit Malaysia. Ia ingin agar anak-anak PMI berani untuk bermimpi dan tidak takut untuk bermimpi besar. Sebab, menurutnya setiap orang itu berhak untuk bermimpi dan punya hidup yang lebih baik, salah satu caranya melalui pendidikan.

"Mimpiku ke anak-anak TKI pertama adalah mereka berani untuk bermimpi, berani untuk keluar dari ladang kemudian berani untuk tidak melanjutkan siklus buruh sawit lagi," harap Azwan.

"Karena kenapa? Benar katanya orang tuanya saya, bahwasannya mereka yang tidak punya latar belakang pendidikan sering kali dimanfaatkan, sering kali dieksploitasi, sering kali dirundung, sering kali dikucilkan. Makanya dengan pendidikanlah kita bisa termanusiakan, dengan pendidikan kita bisa merubah kehidupan keluarga kita, dan itu bisa dimulai dari kita," lanjutnya.

Mimpi Azwan ini juga selaras dengan mimpi para pendiri Sabah Bridge sebagaimana diungkapkan oleh Gebya Okta kepada detikcom beberapa waktu lalu. Gebya adalah salah satu pendiri yayasan tersebut yang tak lain teman Aris Prima.

Sabah Bridge yang berdiri pada 2014 ini bertujuan untuk memfasilitasi anak-anak PMI agar dapat melanjutkan pendidikan jenjang SMA/SMK bahkan perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Hal ini dilakukan agar anak-anak memiliki masa depan yang lebih baik.

Sabah Bridge yang awalnya merupakan komunitas pendidikan yang dibentuk oleh enam guru ini sekarang sudah membantu ratusan anak-anak PMI untuk sekolah di Indonesia.


Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads