Mahasiswa S3 jurusan Geophysical Engineering di Universitat de Barcelona, Handoyo, membagikan pengalamannya selama berkuliah di Spanyol. Kampus tempatnya menuntut ilmu tersebut bahkan berada dalam satu komplek yang sama dengan stadion sepak bola Camp Nou, markas kebesaran FC Barcelona.
Bahkan stadion sepak bola tersebut bisa ditempuhnya hanya dengan jalan kaki karena jaraknya yang sangat dekat, kurang dari 1 kilometer.
Sebab jarak yang dekat itulah, menurut Handoyo, suasana kampus berubah menjadi sangat ramai setiap ada jadwal pertandingan bola di Camp Nou saat sebelum pondemi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena kampus saya dekat banget sama Camp Nou ya, kandangnya FC Barcelona. Itu seru kalau sudah (ada jadwal) main bola. Jadi ramai-ramai orang nonton," ujar Handoyo kepada detikEdu dalam Program Lipsus detikcom dengan PPID (PPI Dunia), Selasa (18/5/2021).
"Tetap seru nonton (di Camp Nou), walau saya fans AC Milan bukan Barcelona," tambahnya sambil tertawa.
Selain cerita tentang kemudahan aksesnya dalam menonton pertandingan sepak bola langsung di stadion Camp Nou selama berkuliah di Spanyol, Handoyo pun mengatakan penduduk Spanyol memiliki tabiat yang mirip dengan orang Indonesia.
"Orang sini (Spanyol) tuh mirip dengan orang kita (Indonesia). Orang sini tuh relatif ramah jadi kalau diajak ngomong tuh senang juga cenderung santai tidak seperti orang Eropa yang lain. Apalagi ngopi (bersantai sambil minum kopi) itu senang sekali mereka," katanya.
Meskipun begitu, Handoyo juga menambahkan ada sedikit kesulitan saat berkomunikasi dengan masyarakat sekitar di luar pembelajaran kampus. Sebab, masyarakat Spanyol masih banyak yang belum bisa berbahasa Inggris. Ia mengaku beberapa kali harus menggunakan alat bantu penerjemah ketika bertanya dengan warga setempat.
"Kadang kita effort-nya (usaha) tinggi tuh kalau mau nanya-nanya pakai google translate dulu," imbuhnya.
Adapun tentang jadwal kuliah semasa pandemi, Handoyo menyebutkan kelas tatap muka sudah mulai dibuka di Spanyol, namun masih menerapkan protokol kesehatan, seperti memakai masker dan cuci tangan. Menurutnya, hal ini disebabkan jumlah mahasiswa dalam satu kelas yang berukuran 8 x 6 m tersebut hanya berkisar 12 mahasiswa.
"Kalau mahasiswa di sini tidak banyak. Satu kelas (ukuran) 8 x 6 m isinya cuma 12 (mahasiswa). Tidak banyak," terang Handoyo.
Sejak November 2020 kemarin, bahkan laboratorium kampus sudah dibuka secara terbatas untuk 1 orang dalam satu ruangan. Untuk pemakaiannya, mahasiswa diwajibkan untuk mendaftar pada sebuah formulir hingga menerima perizinan via e-mail.
"Untuk mendata siapa saja yang datang. Jadi kalau seandainya ada kasus positif kan ketahuan. Mudah mengecek siapa saja yang dateng pada hari itu," jelasnya.
Sebagai penutup, Handoyo yang juga seorang dosen Teknik Geofisika di Institut Teknologi Sumatera (ITERA) memberi saran untuk detikers yang hendak bermimpi untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Menurutnya, jangan pernah takut sebelum mencoba. Lebih baik langsung memberanikan diri disertai dengan persiapan yang matang.
"Intinya kalau mau kuliah di luar negeri itu berani saja sih intinya. Berani saja dulu," sarannya.
(lus/lus)