Judol Jerat Anak-Keluarga Miskin, Sosiolog UGM: Literasi Digital Tidak Cukup

Trisna Wulandari - detikEdu
Kamis, 30 Okt 2025 17:00 WIB
Sosiolog UGM serukan peningkatan kompetensi digital untuk lawan judol. Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar
Jakarta -

Sejumlah kasus judi online (judol) pada anak-anak kembali mencuat. Salah satunya menimpa siswa di DI Yogyakarta yang absen satu bulan dari sekolah usai terlilit pinjaman online (pinjol) akibat kecanduan judol.

Berdasarkan data Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Umum per 12 September 2025, korban judol mulai dari kalangan anak-anak, buruh-petani, hingga tunawisma. Sebelumnya, data Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) 2024 menunjukkan lebih dari 197.000 anak terjerat judol.

Literasi Digital Tak Cukup Atasi Judol

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Andreas Budi Widyanta SSos MA mengatakan, literasi digital yang dicanangkan pemerintah belum efektif untuk menyentuh substansi masalah. Menurutnya, butuh kompetensi digital agar memahami bagaimana judol menjerumuskan tidak hanya pemain, tetapi juga keluarganya.

"Data yang kita lihat itu hanya puncak gunung es. Di baliknya ada banyak keluarga kehilangan rumah, tanah, dan harta demi menebus anak atau anggota keluarganya yang terjerat judi online," kata dosen Departemen Sosiologi UGM yang akrab disapa Bung Abe tersebut, dikutip dari laman kampus, Kamis (30/10/2025).

Abe menjelaskan, judol dirancang dengan gamifikasi yang sengaja menimbulkan sensasi kesenangan atau euforia sesaat. Sensasi ini memicu pemain terus bermain dan kehilangan kendali atas aktivitas dan konsumsinya, sekalipun kemudian kalah.

Praktik tersebut tidak hanya merugikan pemain, tetapi juga keluarga, khususnya ibu rumah tangga. Ia memaparkan, pada banyak kasus, ibu rumah tangga menjadi korban sekunder karena menanggung beban finansial lantaran salah satu anggota keluarganya terjerat judol.

"Mereka yang akhirnya harus menanggung utang dan kehilangan tabungan keluarga demi menutup kerugian yang ditimbulkan anak atau suaminya. Mereka tidak bermain, tapi ikut menanggung akibat dari eksploitasi digital ini," terangnya.

Lawan Judol Butuh Kompetensi Digital

Rendahnya kompetensi digital masyarakat menurutnya turut memperbesar risiko warga terjerumus judol. Sementara itu, kerentanan ekonomi masyarakat, baik akibat kemiskinan struktural maupun tekanan ekonomi, membuat warga berisiko lebih besar untuk mencari jalan keluar instan dalam memperoleh uang.

Ia menegaskan, selama pemerintah belum dapat meningkatkan kesadaran kompeten digital masyarakat, warga akan terus terjerat judol.

"Tidak cukup hanya literasi digital, kita butuh kompetensi digital yang disertai pemikiran sosial kritis. Selama Komdigi (Kementerian Komunikasi dan Digital) tidak serius memberikan proteksi dan penegakan hukum, masyarakat akan terus menjadi korban eksploitasi digital. Negara tidak boleh berdiam diri," ucapnya.

Kampanye Anak Muda dan Agensi Kreatif

Abe menyarankan agar negara aktif dalam penegakan hukum hingga pembangunan kesadaran kritis di ruang digital sebagai langkah strategis penanganan judol. Kolaborasi lintas sektor dan pelibatan anak muda, serta agensi kreatif, menurutnya perlu untuk menggerakkan kampanye penyadaran publik akan bahaya judol.

"Indonesia punya banyak agensi dan generasi muda yang pintar. Mereka seharusnya dilibatkan untuk memberikan pendidikan digital dan kampanye penyadaran yang persisten," ucapnya.



Simak Video "Video: Kemkomdigi Bicara Faktor Sulitnya Berantas Judi Online"

(twu/pal)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork