Dampak judi online (judol) merembet dari masalah ekonomi, kesehatan mental, keluarga, hingga tindak kriminal. Salah satunya, mencuat kasus orang yang terlilit judol menghilangkan nyawa rekan kerja.
Sosiolog IPB University Dr Ivanovich Agusta mengatakan kasus ini mengingatkan bahwa judol merupakan masalah besar karena sudah menyangkut hak asasi manusia paling dasar, yakni hak untuk hidup.
"Ketika praktik judol berujung pada hilangnya nyawa, hal ini menunjukkan betapa serius masalah tersebut," ucapnya dalam laman IPB University, dikutip Kamis (28/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ivanovich menegaskan perlu ada langkah konkret negara untuk memutus mata rantai judol. Langkah ini antara lain melalui regulasi tegas yang melarang judol serta pemblokiran platform judol agar situs dan aplikasinya tidak bisa diakses.
Ia menambahkan, negara perlu mengambil langkah pengawasan transaksi pada akun yang terbukti menampung dana judi. Ia juga menilai aparat perlu berani menangkap bandar, tidak hanya pemain kecil.
"Pelarangan judol harus ditegakkan konsisten oleh negara, bukan sekadar norma di atas kertas. Akun-akun ini sebenarnya sudah terdeteksi, tinggal segera diblokir dan diproses secara hukum. Langsung ditangkap, langsung diblokir rekeningnya, agar praktik judol benar-benar bisa dihentikan," kata Ivanovich.
Minta Masyarakat Waspada
Ia juga meminta masyarakat waspada atas faktor internal, penyebab utama orang bisa terlilit judol.
Ivanovich menjelaskan, dari aspek neurosains, judol menimbulkan rasa ketagihan di otak seperti konsumsi narkotika. Rasa ketagihan membuat pelaku judol ingin terus mencari kepuasan sampai melanggar batas kesusilaan atau melakukan tindak kriminal tersebut.
"Ketergantungan akibat judol berpotensi mendorong seseorang melakukan pelanggaran, bahkan sampai pada tindak kriminal," ungkap Ivanovich.
Kendati setiap manusia pada dasarnya memiliki batas-batas kesusilaan, ia mengingatkan adanya faktor ketagihan yang membuat pelaku judol ingin terus memenuhi kebutuhan atas rasa puas.
Faktor internal ini diperburuk faktor eksternal seperti pengaruh lingkungan, misalnya saat lingkungan sosial si pelaku judol cenderung permisif atau tidak benar-benar tegas menyatakan dan menularkan penolakan terhadap praktik judol.
"Inilah mengapa faktor internal dan eksternal sama-sama berperan, membuat orang yang sudah kecanduan judol bisa berbuat kriminal hingga menghilangkan nyawa," jelasnya.
Ia juga membenarkan bahwa kondisi sosial dan ekonomi yang sulit makin memperparah jeratan judol pada masyarakat. Untuk menutupi utang judol, sebagian pelaku yang terimpit kondisi ekonomi jadi mencuri atau mencopet.
Di sisi lain, ia menggarisbawahi jeratan judol saat ini juga dirasakan masyarakat kelas menengah.
"Artinya, fenomena ini tidak lagi bergantung pada kelas sosial, tetapi sudah lintas kelas dengan akibat serupa, yakni adanya harta kekayaan yang terkuras hingga nyawa yang dipertaruhkan," terangnya.
Menghindari dampak judol lebih jauh, Ivanovich mengimbau masyarakat menjauhi praktik judol sama sekali.
"Tidak ada cara lain kecuali menghindar sama sekali. Jangan coba-coba, karena sekali terjerat, otak akan membentuk rasa ketagihan yang sulit dikendalikan. Ini bukan soal miskin atau kaya, semua bisa terkena," tekannya.
Data kuartal I-2025 dari Pusat Pelaporan dan Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan 71,6 persen masyarakat yang melakukan judol berpenghasilan di bawah Rp5 juta; memiliki pinjaman di luar pinjaman perbankan, koperasi dan kartu kredit.
Data PPATK juga menunjukkan pelaku judol lintas usia, baik yang sudah maupun belum bekerja. Jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain judol berusia 10-16 tahun lebih dari Rp2,2 miliar dan usia 17-19 tahun mencapai Rp47,9 miliar.
Deposit judol tertinggi yakni pada pemain judol usia 31-40 tahun, yang mencapai Rp2,5 triliun.
(twu/pal)